Rabu, 01 Juni 2011

Alokasi Dana Desa Versus PNPM

Penyakit lama peseteruan antar sektor, antar program, dan antar departeman dalam pelaksanaan program pembangunan masyarakat belum sembuh rupanya.


 

Belakangan malahan menunjukkan gejala makin akut. Perseteruan tak hanya berlangsung di pucuk-pucuk departemen di Jakarta. Tetapi sudah merembet, menjalar, dan menular hingga ke desa-desa.


 

Hari-hari ini kita menyaksikan bagaimana desa-desa dikepung oleh banyak program, oleh banyak departemen. Ironisnya, desa selalu tidak punya obat penawar. Posisinya tidak lebih dari sekedar medan pertarungan, lapangan balbalan, atau stadion tempat antar departemen saling bertanding. Sementara warga desa, pemilik sejati lapangan itu hanya menjadi penonton, atau penggembira yang sesekali bertepuk tangan, tetapi juga yang setelah pertandingan usai masih harus membersihkan sampah sisa-sisa pertarungan


 

Ada dua program yang sedang bertanding di daerah ini. Program Alokasi Dana Desa (ADD) versus Proyek Pengembangan Kecamatan/Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (PPK/P2KP)-proyek ini sekarang dikenal dengan nama Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

Kabar serupa juga kita dengar dari Kabupaten Lombok Tengah. Di wilayah ini Mitra Samya mencatat sebanyak 124 RPJM Desa yang telah disusun susah payah oleh Bapeda- AusAID-ACCESS konon menjadi mentah kembali karena kehadiran PPK-P2KP.


 

Kepala Desa sebagai pucuk pimpinan pemerintah di tingkat desa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat melalui Badan Perwakilan Desa dan menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada Bupati (pasal 102 UU No. 22 tahun 1999).


 

Sedangkan Badan Perwakilan Desa mempunyai tugas untuk menetapkan Kepala Desa dari hasil pemilihan yang dilaksanakan oleh masyarakat desa (ayat 3 pasal 95 UU No. 22 Tahun 1999) serta sekaligus berhak untuk mengajukan usulan kepada Bupati agar Kepala Desa diperhentikan ( ayat 2 pasal 103 UU No. 22 Tahun 1999).


 

Hubungan antara Badan Perwakilan Desa dan Kepala Desa yang lainnya adalah berkaitan dengan penetapan peraturan desa dimana peraturan desa hanya sah secara hukum jika peraturan desa tersebut telah ditetapkan oleh Badan Perwakilan Desa. Jika salah satu dari Badan Perwakilan Desa atau Kepala Desa tidak terlibat dalam penetapan peraturan desa maka peraturan tersebut tidak sah secara hukum. Peraturan desa yang ditetapkan oleh Badan Perwakilan Desa dan Kepala Desa juga termasuk penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa setiap tahunnya (ayat 3 pasal 107 UU No. 22 tahun 1999).


 

Dalam desa tidak hanya kelembagaan pemerintah desa dan Badan Perwakilan Desa saja yang ada, tapi ada dua lembaga lagi yaitu kelembagaan ekonomi dan kelembagaan sosial.


 

Kelembagaan ekonomi terdiri dari kelompok-kelompok masyarakat yang berorientasi profit (keuntungan) dan dibentuk di desa berbasiskan pada pengelolaan sektor produksi dan distribusi. Contoh dari kelembagaan ekonomi adalah koperasi, kelompok tani, kelompok pengrajin, perseroan terbatas yang ada di desa


 

Kelembagaan sosial meliputi pengelompokan sosial yang dibentuk oleh warga dan bersifat sukarela. Contoh dari kelembagan sosial adalah karang taruna, arisan, lembaga swadaya masyarakat, forum rt/rw, organisasi masyarakat.


 

Dalam berhubungan keempat lembaga tersebut berinteraksi secara dinamis (bisa merenggang maupun merapat) sesuai dengan kekuatan dan posisi tawar yang dimiliki masing-masing lembaga. Pada waktu tertentu, dimungkinkan adanya satu lembaga yang lebih dominan dibandingkan dengan ketiga lembaga lainnya dalam interaksi sosial. Sebagai contoh dimana pada masa Orde Baru, Pemerintah Desa lebih dominan dibandingkan dengan lembaga politik, masyarakat ekonomi dan masyarakat sipil.


 

Oleh karena itu, hubungan yang ideal dalam kehidupan ditingkat desa adalah keempat lembaga tersebut dilibatkan dalam proses pembangunan desa. Dengan kalimat lain perlu dibangun adanya partisipasi yang menyeluruh dan saling menguatkan antar lembaga-lembaga yang ada di desa. Dalam bahasa akademis hubungan yang saling menguatkan tersebut dikenal dengan istilah Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance).


 

Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) adalah suatu kesepakatan tentang penyelenggaraan Pemerintahan yang diciptakan secara bersama oleh semua elemen yang ada di suatu wilayah. Jika di tingkat Desa, Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) adalah sebuah kesepakatan tentang penyelenggaraan pemerintahan desa yang ciptakan secara bersama oleh pemerintah desa, kelembagaan politik desa, kelembagaan ekonomi desa dan kelembagaan sosial desa. Dengan kalimat lain, Tata Pemerintahan Desa Yang Baik merujuk pada proses penciptaan hubungan kerjasama antara empat kelembagaan yang ada di desa untuk membuat pengaturan-pengaturan yang digunakan dalam menyelenggarakan pemerintahan di desa.


 

Dengan demikian dalam mewujudkan Tata Pemerintahan Desa Yang Baik, yang perlu dibangun adalah sebuah mekanisme dialog atau komunikasi antar empat kelembagaan desa, sehingga keempat lembaga desa sama-sama merasa memiliki tata pengaturan tersebut..


 

Di Selayar Sulawesi Selatan setali tiga uang. Para pegiat ADD di daerah ini menemukan akseptabilitas masyarakat terhadap PPK jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ADD. PPK menjadi proyek idola dan amat diminati baik masyarakat maupun pemerintah desa.


 

Kelihatannya memang sakti betul PPK-P2KP ini. Meskipun dianggap memiliki banyak cacat dari sisi substansi pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, kenyatannya proyek ini malahan lebih memasyarakat.


 

Kita yakin Selayar, Lombok dan Sumba hanya potret kecil dari gambaran besar kecenderungan serupa yang terjadi di banyak daerah.

Ini adalah warning bagi siapa saja penggemar partisipasi untuk bekerja lebih keras menemukan metodologi program. Kenyataannya yang dianggap partisipatif lebih diminati, yang diduga memperdayakan malah dirindukan. Bagaimana bukan warning kalau Musrenbang yang sudah dirancang berbulan-bulan dengan pikiran dan tools terbaik ternyata bisa dimentahkan dengan satu dua gertakan.


 

Dari sisi desain, program PPK memang dianggap jauh lebih canggih. Mereka memiliki sistem, mekanisme, dan prosedur pertanggungjawaban keuangan yang ketat. Mereka merekrut fasilitator dan konsultan dalam jumlah besar, dan membayarnya dengan gaji yang besar juga. Karena itu operator PPK di lapangan sangat solid, mungkin sudah sekuat jaringan birokrasi negara.


 

Program ADD sebaliknya. Karena masih baru seumur jagung, program ini belum menemukan sistem pengelolaan yang cukup teruji. Instrumen-instrumen teknis pembukuan dalam program ADD relatif belum lagi dibangun. Aktor-aktor ADD kebanyakan adalah LSM yang sebagian besar bekerja atas dasar semangat voluntarisme, sering dengan energi yang pas-pasan pula.

Tapi itu tak penting benar. Yang paling mengenaskan adalah, banyak pemerintah kabupaten/kota lebih senang merespon PPK tinimbang ADD. Pemerintah kabupaten/kota mengerjakan ADD dengan setengah hati dan orang-ogahan.


 

Kebanyakan dari mereka berpikir pendek bahwa ADD tidak lebih dari menggelontorkan dana kabupaten/kota kepada desa. Karena itu, mengerjakan ADD sama dengan bunuh diri, memereteli sendiri sebagian sumberdaya yang selama ini dikangkanginya.


 

Tetapi kabupaten selalu punya dalih: ADD belum dilaksanakan karena masyarakat desa belum siap menerima uang yang jumlahnya cukup besar itu. Ironisnya, kabupaten-kabupaten yang mengatakan bahwa desa belum siap ternyata juga tidak melakukan apa-apa demi mempersiapkan desa.

Itulah sebabnya mengapa banyak praktek ADD yang masih jalan di tempat. Kecuali di beberapa daerah, rata-rata kebijakan ADD sejauh ini masih berupa good will . FPPD Yogyakarta hingga awal Agustus 2007 mencatat masih terdapat sekitar 40% kabupaten/kota di Indonesia yang belum mempunyai aturan dasar ADD.


 

Mungkin benar bahwa PNPM dan ADD punya watak yang beda. Yang pertama dikenal sebagai proyek Bank Dunia, dan berbau utang luar negeri. Sedangkan yang terakhir adalah program yang diusung untuk menjalankan misi otonomi daerah.


 

Yang pertama cenderung menegasikan pemerintah desa, sedangkan yang kedua justru menjadikan pemerintah desa sebagai sasaran utama. Yang pertama mengibarkan bendera poverty alleviation, dan yang kedua membentangkan spanduk good village governance. ADD dilahirkan oleh Depdagri, sedangkan induk semang PPK-P2KP konon Bappenas-Menko Kesra-Depdagri.


 

Walaupun demikian, integrasi pengelolaan kedua program ini sebenarnya dimungkinkan. Dana nondesentralisasi yang masuk daerah dan desa, seperti PPK dan teman-temannya, bisa ditempatkan sebagai dana akselerasi. Yaitu dana yang ditujukan untuk mempercepat pencapaian tujuan perencanaan daerah dan desa.

Dana itu tentu saja harus disatukan dengan perencanaan lokal, sehingga PPK tidak perlu membangun jaringan birokrasi dan perencanaan lagi. Pihak pusat cukup melakukan fasilitasi dan supervisi atas perencanaan lokal ini.

Dalam praktek di beberapa daerah, upaya mengintegrasikan kedua program ini mulai bermunculan. Para pegiat otonomi daerah di Nusa Tenggara Timur misalnya, saat ini sedang merancang workshop integrasi ini, melibatkan Team AusAID-ACCESS, Mitra Samya, PPK, dan P2KP. Aktivitas serupa juga lahir di Lombok Barat NTB, Janeponto, dan Bantaeng Sulawesi Selatan.


 

Tetapi upaya mengintegrasikan keduanya, selain membutuhkan energi besar, juga penuh jebakan dan agak berbahaya. Karena, sementara desain integrasi dirancang, puluhan workshop dilakukan, dan peraturan-peraturan untuk menjalankan desain baru itu dibikin, jangan-jangan desa sudah keburu habis.


 

Stamina desa sudah terkuras untuk memahami program-program baru yang tak selalu bisa mereka mengerti. Juga yang tidak memberikan mereka kedaulatan untuk memutuskan nasibnya sendiri.


 

Tetapi di luar soal teknis dan desain program, perseteruan ADD versus PNPM mungkin menggambarkan persoalan yang jauh lebih besar danmendasar. Ialah bahwa upaya-upaya pemberdayaan desa, atas nama program apapun, masih jauh panggang dari api. Bahwa nasib desa sebenarnya tidak pernah berubah. Bahkan pada jaman ketika otonomi desa sedang memperoleh momentum kebangkitannya seperti sekarang, desa sejatinya tidak pernah memiliki kesempatan untuk otonom. Desa hanya suboordinat negara.


 

Kenyataan ini mengantarkan kita kepada soal lain. Ialah bahwa apa yang disebutoleh Hans Antlov sebagai "negaraisasi desa" ternyata tidak hanya berlangsung semasa Orde Baru. Proses menyuntikkan serum negara ke dalam sendi-sendi kehidupan kemasyarakatan desa belum berhenti. Proses itu terus berlanjut, hingga hari ini, dengan varian dan modus yang barangkali jauh lebih canggih dibandingkan dengan yang pernah terjadi di masa lalu.Jika di masa lalu negaraisasi desa dilakukan atas nama stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi, sekarang dikibarkan di bawah bendera pengentasan kemiskinan dan demokrasi. Jika di masa lalu aktor negaraisasi desa adalah partai politik dan otoritarianisme kepemimpinan, sekarang pemeran utamanya adalah departemen pemerintah dengan seluruh jaringan birokrasinya, Bank Dunia, pemerintah kabupaten/kota, LSM, fasilitator, dan konsultan profesional pembangunan masyarakat. Orang desa? Silakan menonton di pinggir lapangan.


 

Dibalik ADD ada prinsip-prinsip dasar ADD yang selama ini belum dipahami oleh masyarakat.


 

Secara umum Alokasi Dana Desa (ADD) atau yang di beberapa daerah dikenal juga dengan istilah Perimbangan Keuangan Kabupaten dan Desa. Sebagaimana diketahui semua fihak bahwa permasalahan desa bersama masyarakat warganya, masing-masing sangatlah sepesifik dan tidak mungkin disama ratakan. Dengan adanya fiskal transfer ke desa tersebut, maka Kabupaten tidak perlu lagi terlalu repot terlibat dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan skala desa karena masing-masing desa bersama warganya sudah mampu menyelesaikan masalah mereka sendiri.

Selama ini pembangunan desa hampir selalu dipilihkan dari atas, atau dikenal dengan istilah top down dan pelaksananya adalah dinas/instansi pemerintah melalui mekanisme proyek. Meskipun pengusulannya dimulai dari desa, bahkan dusun, namun pada kenyataannya keputusan pilihan ada di tangan pemerintah daerah. Maka bukan tidak mungkin proyek yang datang ke desa bukanlah kebutuhan yang didambakan masyarakat, melainkan kebutuhan yang dirumuskan oleh pemerintah daerah. Biaya pembangunannya pun sudah bukan rahasia lagi, jauh lebih besar dari kebutuhan biaya dari kaca pandang masyarakat.


 

Pernyataan di atas sering kita dengar dari masyarakat desa, dan mereka memang membuktikannya dengan sunggung-sungguh. Mereka juga sudah sangat faham kalau pembangunan desanya yang dikerjakan melalui proyek banyak potongannya di sana-sini.


 

Bukti di atas menunjukkan betapa desa adalah potensi pembangunan yang besar bagi daerah. Pembangunan dengan melibatkan langsung masyarakat desa, menunjukkan hasil yang jauh lebih baik dan efisien daripada pembangunan desa yang selama ini dijalankan dengan mekanisme proyek. Budaya gotong royong, gugur gunung, sambatan, dan semacamnya adalah potensi sosial yang masih hidup di masyarakat desa dan harus dilestarikan.


 

Memberikan kesempatan luas kepada desa mengatur rumah tangganya sendiri dengan memberikan kewenangan disertai dengan biaya perimbangan akan mempercepat pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Belanja investasi yang lebih efisien ini akan mempercepat kesejahteraan masyarakat secara lebih merata dalam jangka panjang.


 


 

Gerakan pembangunan sela-ma ini sering kali bias kepen-tingan politik. Atmosfir sema-cam itu berdampak pada pelayanan publik yang tidak merata untuk semua warga. Ada desa yang selalu mengalir lancer proyek-proyek dari tahun ke tahun ke desanya, atau bahkan bisa bertumpuk beberapa proyek secara bersamaan, namun ada desa yang sama sekali tidak pernah mendapat bagian kue pembangunan. Bias kepentingan tersebut dirasakan oleh sebagian masyarakat sebagai bentuk diskriminasi pelayanan yang mereka terima. Kondisi semacam ini, kalau dibiarkan terus menerus bisa menciptakan kecemburuan antar masyarakat.


 

Dampaknya, akan terbangun rasa enggan, tidak peduli (apatis), bahkan kebencian pada pemerintah bagi desa yang tidak pernah kebagian tersebut.


 

Kondisi di atas adalah salah satu potret kekecewaan desa karena sudah bertahun-tahun usulan mereka tidak dipenuhi. Desa sudah menganggap bahwa tidak perlu lagi membuat usulan karena toh usulan tersebut kemungkinan kecil dipenuhi. Di sisi lain para pejabat pemda seing menyampaikan pernyataan seperti di atas dan menjadi pembenaran klasik atas kebijakan top down yang masih belum bisa dirubah sepenuhnya.

Beban pembangunan bisa dikatakan lebih besar di kota dari pada desa. Akses pelayanan publik di kota jauh lebih cepat berkembang dari pada di desa. Pembangunan bias perkotaan ini menciptakan pelayanan masyarakat kota dan desa yang semakin senjang dari waktu ke waktu. Strategi pemba-ngunan semacam ini tidak akan bisa mengatasi masalah kemiskinan struktural, jumlah kemiskinan di desa akan selalu lebih tinggi daripada di kota, disamping mobilisasi masyarakat dari desa ke kota (urbanisasi) akan terus semakin besar, baik untuk keperluan mencari kesempatan kerja, mencari ilmu, maupun mengais rejeki yang lain.


 

Bias pembangunan tersebut secara mendasar menyulitkan pemerintah daerah dalam menyeleng-garakan pelayanan publik maupun pembangunan secara lebih adil. Strategi pembangunan akan sulit diwujudkan karena asas pembangunan tidak didasarkan kepada kebutuhan strategis melainkan lebih besar pada urusan kepentingan.


 

Daerah justru akan dibantu meningkatkan pelayanan ketika desa turut berperan membangun lingkungannya. Pemerataan pembangunan bisa diwujudkan apabila daerah bersedia memberikan kesempatan luas kepada desa untuk turut memba-ngun melalui strategi menga-lokasikan dana yang proporsional kepada desa.


 

Hal ini bisa dimengerti karena desa sudah mendapatkan apa yang selama ini mereka dambakan, bisa membangun desanya sesuai aspirasi warganya. Perhatian mereka sebagian akan tertumpah bagaimana mewujudkan cita-cita desa dan memperbaiki


 

Otonomi daerah melahirkan ide reformasi desa dan menjadi gerakan pembaharuan pengelolaan desa yang lebih modern di tengah-tengah tradisi masing-masing desa. Peranan desa dalam pembangunan dan fungsi pelayanan terbawah mulai bergerak pasti menuju kamajuan masa depan desa yang lebih baik. Kantor desa secara bertahap mulai dibenahi dan dilengkapi peralatan-peralatan yang modern seperti komputer maupun kelengkapan lain semacam telepon dan bahkan sepeda motor dinas.


 

Peningkatan peranan desa dalam pembangunan berkontribusi besar mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Beberapa kesulitan yang selama ini membelenggu desa secara bertahap mampu diurai oleh mereka sendiri.

Dari sudut pandang pemberdayaan masyarakat, masyarakat desa semakin mampu menyelesaikan masalahnya sendiri dan ini menjadi indicator keberdayaan mereka. Sifat ketergantungan desa secara bertahap semakin berkurang.


 

Secara umum ADD atau di beberapa daerah disebut DAU Desa maupun DAU Nagari dapat diterima dan dimanfaatkan secara baik oleh masyarakat desa. Dana tersebut meskipun jumlahnya masih terbatas namun telah mampu menjadi stimulant bagi pembangunan desa. Sebagian besar masyarakat desa di daerah penelitian menyampaikan bahwa kebijakan ADD ini dirasakan lebih benfanfaat daripada kebijakan DPDK yang ada selama ini. Mekanismenya dirasakan lebih transparan dan partisipatif dan pemanfaatannya lebih demokratis, berdasarkan pada rembug desa.

Membangun desa adalah kebutuhan warga desa yang akan terus berlanjut. Hal ini bisa disaksikan dari bertumpuknya usulan masyarakat setiap tahun yang disampaikan di Musbang Desa maupun UDKP.


 

Bertumpuknya usulan tersebut menunjuk-kan bahwa desa tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Kemandirian desa adalah kunci bagi kemandirian daerah dalam jangka panjang. Sehingga membangun kemandirian desa secara bertahap akan mengikis sifat ketergantungan desa yang terjadi selama ini. Kemampuan masyarakat menyelesaikan masa-lahnya, kalau bisa diorong secara luas di seluruh daerah, maka kreatifitas dan ketahanan masyarakat akan menjadi modal penting menghadapi tantangan global di masa depan.


 

Partisipasi adalah suatu yang tulus yang diberikan seseorang untuk suatu penyelesaikan masalah serta mengontrol jalannya pemerintah. Selama ini partisipasi masyarakat desa terbangun oleh rasa kebersamaan dan kekeluargaan yang tinggi sesama warga desa. Saat seorang warga mengalami suatu musibah, saudara dan tetangganya berduyun-duyun membantu meringankan beban warga yang tertimpa musibah tersebut.


 

Demikian pula ketika masalah tersebut merupakan masalah RT, RW dan Desa, warga RT, RW, dan Desa, akan berduyun-duyun membantu menyelesaikan masalah tersebut, tanpa diminta, tanpa dipaksa.


 

Alokasi Dana Desa atau yang di beberapa daerah disebut dengan Perimbangan Keuangan Kabupaten Desa menjadi bagian dari Penerimaan Desa. Semua Penerimaan dan Belanja Desa selanjutnya diputuskan dalam Peraturan Desa (Perdes) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa). Belanja Desa digunakan untuk belanja rutin dan belanja pembangunan. Belanja rutin yang dimaksudkan disini adalah untuk belanja aparatur, meliputi pos belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, serta belanja perjalanan dinas. Sedangkan Belanja Pembangunan meliputi belanja Pembangunan Sarana dan Prasarana Pemerintahan, Produksi, perhubungan, pembangunan lain-lain.

Meskipun manfaat Alokasi Dana Desa dirasakan luas bagi kemandirian desa, namun masih ada beberapa catatan hambatan dan tantangan ke depan. Hambatan yang paling terasa di beberapa daerah terdapat pada kesiapan aparatur pemerintahan desa. Pengalaman yang baru ini diakui oleh semua fihak masih membutuhkan waktu untuk belajar banyak bagaimana mengelola secara mandiri pembangunan di desa.


 

Kesenjangan kemampuan antara aparatur pemerintahan Kabupaten dan Desa yang disebabkan oleh perbedaan jam terbang ini masih menjadi penghambat kelancaran implementasi ADD.


 

Kelemahan perangkat dan aparatur pemerintah desa tersebut menjadi sumber kelemahan atminitrasi desa. Inilah masalah yang paling sering terjadi sehingga menjadi titik lemah bagi kelancaran pencairan dana maupun pertanggung jawa-ban kepala desa.


 

Pengalaman desa dalam hal perencanaan bisa dibilang masih sangat lemah. Hal ini sangat difahami karena peranan desa selama ini hanya pengusul program yang disampaikan kepada supra desa. Tentu saja mereka tidak memiliki kemampuan di bidan perencanaan desa yang menjadi bagian penting ketika desa harus mengelola dana.


 

Hambatan lain yang tidak kalah subtansial adalah kesiapan Pemerintah daerah sendiri terhadap perubahan peran desa tersebut, terutama bagi lembaga yang bersentuhan dengan pemberdayaan desa. Selama ini bisa dikatakan desa dianggap tidak tahu apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar