Rabu, 01 Juni 2011

Demokrasi Desa:

Diskusi tentang demokrasi hampir selalu berkaitan dengan upaya membangun system politik nasional yang transparan, partisipatif, dan akuntabel. Untuk itu, selain konstitusi diperlukan institusi-institusi standar bagi pelembagaan system demokrasi seperti legislative, eksekutif, yudikatif, partai politik, pemilihan umum dan pers yang bebas. Namun demikian system demokrasi tidak bisa bekerja tanpa kemampuan Negara menegakkan supremasi hukum di satu pihak, dan kultur demokratis (dari masyarakat dan elite) di pihak lain. Persoalan terbesar bangsa kita dewasa ini mencakup sekurang-kurangnya dua hal yang disebut terakhir, yakni kegagalam Negara menegakkan supremasi hukum dan belum terbangunnya kultur dan tradisi demokratis. Fenomena anarkisme dan pemaksaan kehendak dari berbagai kelompok masyarakat yang begitu marak beberapa tahun terakhir merefleksikan realitas tersebut.


 

Kultur demokrasi tak hanya berkaitan dengan penghormatan atas kesetaraan, hukum, toleransi, keberagaman, dan konsensus, melainkan juga berhubungan dengan pelembagaan tanggung jawab warga Negara dan elite politik dalam kehidupan kolektif.


 

Realitas ketiadaan supremasi hukum dan belum melembaganya kultur demokrasi tersebut diperparah oleh keterbelakangan ekonomi mayoritas rakyat kita, sehingga dalam banyak kasus rakyat tidak mempunyai pilihan kecuali terperangkap ke dalam konflik atas dasar sentiment kelompok, golongan, dan primordialisme yang diprovokasi oleh berbagai elemen hasil kolusi antaraktor pemodal (pasar), Negara, supradesa, dan bahkan "Negara bayangan" (shadow state).


 

Desa sebagai unit pemerintahan terendah yang berhadapan langsung dengan rakyat diharapkan pula dibangun di atas format demokrasi. Namun membayangkan bahwa format demokrasi pada tingkat nasional bisa berlaku sama pada tingkat desa, barangkali senderung salah-kaprah. Pada dasarnya, setiap desa telah mempunyai lembaga "legislative" dan yudikatif" sendiri, baik yang bersifat adat, agama atau gabungan keduanya, yang bahkan telah ada sebelum penyeragaman format desa dilakukan oleh Orde Baru dan pemerintah era reformasi. Karena itu dalam konteks demokrasi dan otonomi desa yang diperlukan bukan hanya struktur perwakilan formal yang potensial disalahgunakan oleh elite desa yang minim akuntabilitas, melainkan juga perlindungan dan penguatan atas lembaga-lembaga masyarakat asli sebagai representasi rakyat desa yang sesungguhnya.


 

Oleh karena itu dalam konteks demokrasi desa, pelembagaan kultur dan tradisi berdemokrasi jauh lebih mendesak ketimbang pengaturan desa. Selain itu, format

demokrasi desa tidak harus sama dan seragam seperti dianut oleh UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar