Rabu, 01 Juni 2011

Desa harus dibangun dan diberdayakan.

Desa beserta pemerintahannya tidak berdaya, banyak warga miskin dan pengangguran di desa, langgengnya kelangkaan bahan baku, kuatnya jeratan rentenir, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan bagi warga desa, tiadanya modal usaha yang cukup di desa, KKN di desa, langka-nya air irigasi dan pupuk pertanian, tiadanya bibit lokal, murahnya hasil produksi pertanian, rusaknya infrastruktur di desa, terhambatnya inisiasi kreatif di Desa, dll, semua itu adalah "KEPUTUSAN POLITIK". Akan LANGGENG jika DIBIARKAN, dan akan BERUBAH jika ADA GERAKAN PERUBAHAN yang KUAT. Agen perubahan adalah Pemerintah dan Rakyat.


 

Coba!, rasakan denyut nadi dan urat saraf kehidupan desa. Sekarang, 'Apa yang masih tersisa di Desa?'. Kemiskinan, pengangguran, kelemahan dan kelangkaan, itu gambaran yang melekat kuat di desa. Itupun kerap diikuti oleh rasa sensitifitas yang tinggi (karena kompetitif) antar sesama, sehingga potensi konflik demikian besar, dan sering meletup walau dalam ukuran kecil. Justru dari sini, kerenggangan sosial, ekonomi, politik dan tata nilai semakin melebar. Seolah, yang tersisa di desa adalah 'masalah', 'frustasi sosial' dan tempat membuang sampah 'modernitas' dan sampah 'pembangunan'. Demikian itu, masih ditambah dengan kapitalisasi sektor-sektor layanan publik, bahkan publik pun menjadi barang dagang. Berapa-pun pendapatan warga desa, pada saatnya akan terserap (disesep) oleh bentuk-bentuk layanan tersebut. Dan, desa akan terpapar dan mejadi jalur buang dari gelanggang bebas pertarungan kapital.


 

Coba pikirkan!, bangsa ini telah terjebak didalam pusaran tata niaga dan pasar bebas. Semua kekuatan (sumberdaya) dipertaruhkan dan didesain untuk mengikuti pusaran itu. Apa sumber daya yang tersisa?, kalau ada; cukupkah dijadikan kekuatan untuk memutar balik?. Bahkan, bangsa ini pun hampir lupa memiliki kedaulatan, dan melupakan pemilik kedaulatan sesungguhnya adalah rakyat.


 

Mulailah untuk Bergerak dan Terus Gerakkan...


 

Apa yang kita rasa selama ini sebagai masalah-masalah di desa, keseluruhannya ingin menegaskan bahwa; daya rusak, daya redam, dan daya lawan ada di 'kuasa dominan' dan terjadi bila ada kemampuan kapital (lebih dekat dengan arti; modal) dan politik. Kemampuan terhadap penguasaan modal (bisa diartikan dalam berbagai bentuk) dan kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan.


 

Jadi, prioritas adalah perbaikan kondisi ekonomi rakyat di desa, agar mereka mempunyai kemampuan/kuasa untuk bisa meningkatkan kualitas kesejahteraan dibidang sosial, politik, dan budaya. Ini jalan utama yang perlu dibangun, sambil memperbaiki jalan-jalan yang lain agar jalan utama semakin kuat. Tentu, ekonomi tidak terlepas dari urusan sosial-politik dan budaya, dan mereka (warga & kelompok di desa) pun perlu terdidik dan terorganisir untuk itu.


 

Rakyat di desa harus punya banyak 'kuasa' dan mempertahankan 'kuasa' itu untuk bisa merubah dan meningkatkan kesejahteraannya. Di desa; dimanakan letak 'kuasa-kuasa' ekonomi bekerja?, dimanakan letak 'kuasa-kuasa' politik berjalan?, dan dimanakah letak 'kuasa-kuasa' budaya itu bergerak?.


 

Nah, bergeraklah untuk menguasai, kuasai-lah 'situasi dan posisi' secara efektif, dan efektifkan semua fungsi negara agar rakyat desa sejahtera.


 

Otonomi desa tidak dimaknai sebatas mengatur pembagian kewenangan. Tetapi berkonsekuensi adanya perubahan pola pikir, cara pandang dan perilaku yang teraktualisasi dalam cara kerja yang produktif dan bertanggungjawab.


 

Tentunya, dengan kewenangan yang ada warga desa mampu menggali dan mengelola potensi-potensi yang ada disekelilingnya sehingga dapat mendatangkan penghasilan. Artinya tidak menunggu perintah, petunjuk apalagi bantuan, tetapi muncul sifat kemandirian dan komitmen untuk hidup lebih maju


 

warga desa belum maksimal diberdayakan karena banyak faktor antara lain masih adanya warga yang tidak terlibat atau tidak dilibatkan dalam proses penggalian gagasan sampai penetapan rencana kegiatan. Hal ini terjadi karena adanya unsur monopoli dan rendahnya kemampuan warga dalam menyikapi berbagai persoalan hidup yang dihadapi.


 

pola perencanaan seperti Musrenbang yang diterapkan pemerintah selama ini dalam pelaksanaannya di lapangan mengalami banyak kekurangan. Indikasi data-data yang diajukan dari setiap desa/kelurahan tidak semua mewakili kepentingan mayoritas warga, tetapi lebih banyak memperhatikan suara-suara orang tertentu saja yang mempunyai pengaruh dan aktif mengikuti rapat atau pertemuan. Di lain pihak SKPD juga kurang proaktif sehingga terkesan hanya menunggu usulan yang ditetapkan di tingkat kecamatan.


 

kewenangan mengatur desa berikut potensinya lebih banyak dilakukan oleh pemerintah tingkat atas. Begitu pula soal penyusunan perencanaan seperti kegiatan Musrenbang lebih banyak menjalankan aturan sehingga substansinya nyaris tidak menyentuh masalah riil yang dihadapi warga. "Sejalan dengan itu pula masih kuatnya anggapan bahwa orang-orang kecil yang ada di desa masih bersifat paterialistik atau dianggap paternalistik atau mengikuti saja yang diperintah dan tidak memiliki kemampuan dan pengaruh untuk menentukan suatu kebijakan


 

Penyelenggaraan otonomi daerah merupakan salah satu upaya strategis yang memerlukan pemikiran yang matang, mendasar dan berdimensi jauh ke depan. Pemikiran itu kemudian dirumuskan dalam kebijakan otonomi daerah yang sifatnya, menyeluruh dan dilandasi oleh prinsip-prinsip dasar demokrasi, kesetaraan dan keadilan disertai untuk kesadaran akan keaneka ragaman kehidupan kita bersama sebagai bangsa dalam semangat Bhineka Tunggal Ika. Kebijakan otonomi daerah diarahkan kepada pencapaian sasaran-sasaran sebagai berikut :


 

Peningkatan pelayan publik dan pengembangan kreativitas masyarakat serta aparatur pemerintah di daerah.


 

Kesetaraan hubungan antara pemerintah pusat dengan PEMDA dan antar-PEMDA dalam kewenangan dan keuangan.'


 

Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah.


 

Desa atau yang di sebut dengan nama lain, selanjutnya di sebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yuridiksi, berwenang untuk mengatur dan mngurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan/atau di bentuk dalam sistem pemerintah nasional dan berada di Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud dalam Amandemen UUD 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keaneka-ragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.


 

Pemerintah Desa dapat diberikan penugasan ataupun pedelegasian dari pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedangkan terhadap Desa,geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang di bentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi daerah akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.

Sebagai perwujudan dari sistem demokrasi, dalam penyelenggaraan pemerintah desa di bentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan Pemerintah Desa seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan Peraturan Desa, Angaran Pendapatan dan Belanja Desa dan Keputusan Kepala Desa. Di desa di bentuk lembaga ke masyarakatan yang berkedudukan sebagai mitra kerja Pemerintah Desa dalam memberdayakan masyarakat desa.


 

Otonomi desa pada dasarnya mempunyai peranan yang strategis, ketika saat ini kita semua sedang mengusung ide pembangunan yang berbasis kerakyatan/masyarakat, pemberdayaan dsb. Desa adalah basis masyarakat dengan segala problematiknya. Kemiskinan ada di desa, akan tetapi di desa pula basis sebagai potensi bisnis ekonomi, sebagian besar penduduk indonesia juga tinggal di desa. Dengan demikian, slogan yang mengatakan membangun desa maka daerah dan negara maju bukan hanya slogan pepesan kosong tanpa argumen yang valid. Dalam kerangka konseptual pemikiran ini lah, maka konsep pengembangan otonomi desa adalah alternatif yang pantas di evaluasi yang berperan strategis dalam sistem pertahanan nasional.

Otonomi pada hakekatnya menunjukan besaran kewenangan yang dimiliki sebuah ruang lingkup wilayah politik dan administratif. Luas atau sempitnya kewenangan yang di ukur dengan jumlah urusan akan menunjukan besaran otonomi tersebut. Oleh sebab itu, besaran kewenangan ini akan berhubungan dengan tingkat kapabilitas dalam mengelola kewenangan tersebut yang di lihat pada level kreativitasnya. Sehingga ada persepsian yang menyatakan bahwa otonomi akan mendorong kreatifitas yang arti kata ada pemberdayaan di sana. Tanpa ada otonomi, jangan harap akan munculnya lahir kreativitas dan kapabilitas komunitas masyarakat lokal.


 

Namun, hal yang menarik jika kita mencermati perkembangan otonomi desa, ternyata sesungguhnya masyarakat lokal khusus masyarakat pedesaan telah lebih dahulu memiliki bakat kreativitas dalam mengelola berbagai problematiknya dalam ruang lingkup otonomi aslinya yang kelihatan ada pada pola adat-istiadat mereka. Hal ini tentunya tidak sama dengan otonomi daerah pada level Kabupaten/Kota dan/atau Provinsi yang dari segi waktu masih relatif lebih muda karena diberikan oleh negara sebagai bentuk strategis kebijakan pemerintah.

Menyimak sejarah perkembangan otonomi desa, akan kelihatan kuatnya komitmen untuk mengeyampingkan ruang lingkup pedesaan yang terus berkembang dan berlangsung. Rezim otoriter dalam konteks desa sepertinya akan terus berlanjut. UU No 32/2004 yang mengantikan UU No 22/1999 mungkin cerita yang dapat diangkat.


 

Pemerintah Desa berdasarkan UU No 32/2004 harus dikatakan berbeda secara mendasar dengan pemerintah desa menurut UU No 22/1999. Di mana pengaturan desa yang tergambar dalam UU No 32/2004 memperlihatkan kuatnya kontrol pemerintah dan menghilangkan demokratisasi pemerintahan desa. hal ini mengingatkan pengaturan desa dalam UU No 5/1975.

Selanjutnya menyangkut kewenangan desa, dapat di lihat bahwa terdapat tiga sumber urusan pemerintah yang menjadi kewenangan desa sebagaimana di atur dalam Pasal 206 UU No 32/2004 yaitu :


 

Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa.


 

Kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah.


 

tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten.


 

Penjabarannya harus hati-hati, karena terjadi ketidak-sikronan terutama pasal 206 ayat (1) dengan pasal 200 UU No 32/2004 yaitu :


 

Dalam pemerintahan desa di Kabupaten/Kota di bentuk pemerintahan desa yang terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).


 

Pembentukkan, penghapusan dan/atau pengabungan desa dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat.


 

Desa di Kabupaten/Kota bertahap dapat di ubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa Pemerintah Desa bersama Badan Pemusyawaratan (BPD) dengan PERDA.


 

Pasal 206 ayat (1) menjelaskan kewenangan desa adalah urusan pemerintahan berdasarkan hak asal-usul desa. Jenis urusan ini jelas bukan urusan karena penyerahan dari pemerintahan Kabupaten/Kota. Padahal dalam pasal 200 dinyatakan bahwa dalam PEMDA Kabupaten/Kota di bentuk Pemerintahan Desa. Istilah PEMDA menunjukan penyelenggaraan pemerintahan yang bersumber dari asas desentralisasi dan tugas pembantuan. Dengan demikian dalam Pemerintahan Desa yang di bentuk ada urusan yang tidak bersumber kepada pembentukkannya.


 

Menyangkut pengaturan sistem Pemerintahan Desa, terdapat beberapa kelemahan yang perlu dicermati, yaitu :


 

Pertama : Tidak diaturnya sistem pertanggung-jawaban Kepala Desa dalam batang tubuh UU No 32/2004. Sistem pertanggung-jawaban Kepala Desa ditemukan di dalam penjelasan umum. Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat desanya yang dalam tata cara dan prosedur pertanggung-jawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kepala Desa wajib memberikan laporan pertanggung-jawabannya. Pengaturan semacam ini tidak tepat sasaran. Karena penjelasan pada hakekatnya bukanlah norma, namun merupakan penjelasan dari norma sehingga terhindar dari penafsiran gramatikal ganda. Hal ini yang perlu dicermati yaitu pola laporan pertanggung-jawaban yang bersifat vertikal (ke atas) dan bukan horinzontal dan ke bawah (ke masyarakat dan BPD) akan menimbulkan perubahan orientasi pengabdian Kepala Desa yang akan lebih loyalitas kepada kehendak pihak atas ke timbang kepada rakyat yang memilihnya dan menimbulkan dampak yaitu Pemerintahan Desa bisa menjadi alat politik pencapaian kekuasaan dari Bupati/Walikota dalam pemilihan umum Kepala Daerah secara langsung.


 

Kedua : Tugas dan kewajiban Kepala Desa dalam memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa di atur lebih lanjut dengan PERDA berdasarkan Peraturan pemerintah dan pasal 208 UU No 32/2004 Ketentuan ini cukup berbahaya mengingat UU tidak secara definitif menentukan tugas dan kewajiban kepala Desa. pengaturan semacam ini memberi ruang hampa pada pemerintah melalui peraturan Pemerintah. Di lain pihak Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai fungsi yang sangat terbatas berdasarkan pasal 209 UU No 32/2004 yaitu menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. dalam formulasi pengaturan yang semacam itu maka akan sangat sulit terjadi keseimbangan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, karena kewenangan Kepala Desa sangat elistis dengan menyerahkan sepenuhnya pengaturan kepada PERDA.


 

Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) dalam UU No 32/2004 fungsi bersama Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa dan sebagai penampung serta penyalur aspirasi rakyat. Berbeda sama sekali dengan Badan Perwakilan Desa (BPD) dalam UU No 22/1999, BPD berfungsi mengayomi adat-istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan Keputusan Kepala Desa.


 

mekanisme tata cara Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di dalam UU No 32/2004yaitu anggota Badan permusyawaratan Desa (BPD) adalah respretatif dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat artinya tidak dipilih secara langsung akan tetapi dengan ditetapkan dengan cara musyawarah. Mekanisme tata cara pengaturan ini pada dasarnya menghilangkan prinsip nilai demokrasi di level wilayah desa. Sedangkan di dalam UU No 22/1999 yaitu anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) di pilih dari dan oleh penduduk desa yang memenuhi persyaratan. Pimpinan Badan Perwakilan Desa (BPD) di pilih dari dan oleh anggota. Badan Perwakilan Desa (BPD) bersama Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa. Peraturan Desa tidak memerlukan pengesahan Bupati/Walikota, tetapi wajib ditetapkan dengan tembusan kepada Camat, Pelaksanaan Peraturan Desa ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.


 

Selain itu, penggantian Badan Perwakilan Desa menjadi Badan Permusyawaratan Desa memunculkan kembali "sistem nepotisme", kerabat-kerabat Kepala Desa menjadi kaum elit desa karena keangotaannya ditetapkan secara musyawarah dan mufakat. Perubahan pola ini dapat di anggap sebagai pengingkaran prinsip demokrasi langsung terhadap kedaulatan rakyat.


 

Selanjutnya itu, mengenai aparatur Pemerintahan Desa dalam UU No 32/2004 terdiri atas Sekretaris Desa dan perangkat desa lainnya. Sekretaris Desa di isi dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan. Kondisi ini pada dasarnya akan mengarahkan Pemerintahan Desa ke arah birokratisasi yang pengabdiaannya pun akan berbeda. Di samping itu akan munculnya kultur pegawai negeri sipil di desa dan dapat diarahkan kepada mesin politik baru.

Di samping itu, secara politik kedudukan Sekretaris Desa dapat membuatnya jugaloyalitas ganda, satu sisi sebagai bawahan Kepala Desa maka ia harus tunduk kepada Kepala Desa. namun di sisi lain sebagai Pegawai Negeri Sipil secara otomatis maka ia juga harus tunduk kepada atasannya yaitu Bupati/Walikota. Loyalitas ganda ini lah menyebabkan kewenangan desa untuk mengatur dirinya sendiri menjadi hilang. Sebab masuknya birokrasi intervensi pemerintah Kabupaten/Kota dapat dengan mudah masuk ke desa. Jika demikian, peluang pola pembangunan yang sentralistik dan top down (dari atas) berpeluang untuk hadir kembali.

Dari uraian di atas penulis menyimpulkan beberapa hal yaitu :

Mempercepat pemprosesan pembahasan dan pengesahan RUU Pemerintahan Desa menjadi UU Pemerintahan desa sebagai payung hukum manisfestasi prinsip demokratisasi perdesaan serta dalam sistem pertahanan nasional dalam kerangka NKRI.


 

Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat desa yang dalam tata cara dan prosesdur pertanggung jawabannya disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggung jawabannya dan kepada rakyat desa untuk menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggung jawabannya akan tetapi tetap memberi kesempatan kepada masyarakat/rakyat desa melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal-hal yang bertalian dengan pertanggung jawaban yang di maksud.


 

Mempercepat pembangunan perdesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat terutama para petani dan nelayan melalui penyediaan prasarana, pembangunan sistem agrobisnis industri kecil dan kerajinan rakyat, pengembangan kelembagaan, penguasaan teknologi dan pemanfaatan sumber daya alam (SDA).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar