Rabu, 01 Juni 2011

Desa Jadi Korban

Desa dengan pemerintahannya selama ini tidak mengalami perubahan yang cukup berarti. Desa lebih banyak diposisikan sebagai obyek kekuasaan politik dari supra desa, maupun obyek tersedianya sumber bahan dan tenaga kerja murah bagi pengusaha. Sistem pemerintahan desa yang digunakan saat ini pada prinsipnya masih meneruskan kebijakan pemerintah zaman penjajahan Belanda yang dinamakan "indirect rule". Melalui cara ini, pemerintah Belanda dapat memerintah rakyat desa melalui kepala desa, sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya. Disengaja atau tidak, selama ini pemerintah supra desa telah menempatkan desa pada posisi yang marginal. Contoh: PILPRES  BIAYA APBN, PILKADA  BIAYA APBD, PILKADES  BIAYA SENDIRI. Pada masa lalu ada program pembangunan desa, tetapi lebih bersifat pelaksanaan cetak biru yang disiapkan pemerintah pusat, yang dampaknya justru membuat desa semakin tergantung pada pihak luar desa. Fungsi Desa sebagai tempat kehidupan dan penghidupan warganya menjadi pudar, berganti hanya sebagai tempat tinggal. Karena saya dari pemerintahan maka saya bicara bentuk dan kedudukan keorganisasian pemerintah desa. Dilihat dari bentuk dan kedudukannya, pemerintah desa adalah organisasi pemerintah semu, ini boleh setuju boleh tidak yang ambivalen, atau lebih tepat disebut sebagai lembaga kemasyarakatan yang menjalankan fungsi pemerintahan. Dikatakan demikian karena kewajiban-kewajibannya sebagai kewajiban pemerintah tapi haknya tidak, kepala desa dan perangkat desanya bukan PNS yang digaji dengan dana dari negara. Selama ini pembiayaan bagi organisasi pemerintah desa berasal dari sumber- sumber keuangan tradisional berupa iuran warga maupun pengelolaan kekayaan desa, ditambah dengan bantuan dari pemerintah supra desa. Kemudian keluar keputusan politik dalam bentuk Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR-RI/2000 Rekomendasi Nomor 7, ada keinginan politik untuk memperkuat desa, dengan kemungkinan menjadikannya sebagai DAERAH OTONOM TERBAWAH, ini baru kemungkinan karena disitu disebut studi perintisan berarti ada keinginan untuk menjadi daerah otonomi yang paling bawah. Apabila Tap MPR tersebut masih digunakan sebagai dasar hukum di dalam penyusunan RUU tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2006-2025, jadi posisi TAP MPR ini sangat dilematis karena sekarang itu MPR posisinya hanya lembaga tinggi negara biasa tapi pada waktu TAP ini disyahkan MPR masih sebagai lembaga tertinggi negara, jadi ada dua posisi, nah kalau itu masih dipegang perlu disusun grand desain yang bertahap dan berkelanjutan. Berbagai perubahan terhadap desa dan pemerintahannya saat ini cenderung bersifat parsial dan jangka pendek. Kita tidak pernah tahu kondisinya seperti apa dan kemana arahnya, kalau saya lihat prospeknya kedepan kalau TAP MPR masih di pakai maka akan muncul desa otonom baru yang merupakan gabungan dari desa-desa yang ada pada saat ini yang basisnya adalah TAP MPR No IV tapi konsekwensinya otonomi yang hanya pemberian dari pemerintah, berubah dari otonomi pengakuan yang selama ini berjalan, karena sekarang ini pemerintah sudah mengakui otonomi yang sifatnya asli maka nanti akan berubah mengenai otonomi yang bersifat pemberian dan ini juga akan menimbulkan kontroversi karena dianggap intervensi pemerintah kepada desa masuk kedalam. Otonomi desa baru ini luasnya mencakup beberapa desa lama otonominya bersifat rasional yang sekarang otonominya bersifat tradisional dan kalau ini terjadi maka Kecamatan akan dihapus dan tanda-tanda itu sudah nampak, misalnya adanya ADD kemudian pengisian jabatan Sekdes menjadi PNS dan yang agak kontroversi yaitu pasal 72 ayat 7 huruf b, urusan kabupaten kota yang pengaturannya diserahkan kepada desa. Ini akan menimbulkan kontroversi tapi proyeksinya seperti itu dengan asumsi TAP MPR masih dipakai untuk landasan kalau tidak maka kita akan menyusun kritisan yang lain. Kalau bicara tentang tata hubungan kerja antara desa dengan supra desa akan nampak bahwa tata hubungan kerja antar satuan pemerintahan tergantung pada sumber kewenangannya. Prinsipnya, pola pertanggungjawaban mengikuti pola pendelegasian kewenangan. Tata hubungan kerja antar satuan pemerintahan yang tidak bersifat hierarkhis bentuknya sebagai berikut: dari sistem yang lebih kecil wujudnya berupa laporan, sedangkan dari sistem yang lebih besar wujudnya pembinaan, pengawasan dan fasilitasi. Pola pertanggungjawaban pimpinan satuan pemerintahan akan mengikuti pola pengisiannya. Pimpinan yang dipilih pertanggungjawabannya akan mengikuti pola pemilihannya. Prinsipnya adalah mereka yang dipilih akan bertangungjawab kepada yang memilih. Pola pertanggungjawaban pimpinan satuan pemerintahan yang diangkat oleh pejabat yang berwenang, pada prinsipnya bertanggungjawab kepada pejabat yang mengangkatnya. Dilihat dari sistem pemerintahan, pemerintah desa merupakan subsistem yang paling kecil. Tetapi pemerintah desa bukan merupakan subordinasi dari pemerintah kabupaten/kota. Dengan demikian, kepala desa tidak bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota. Karena ada beberapa perda yang mengatakan bahwa kepala desa bertanggungjawab kepada bupati, maka ini jadi lucu. Mengingat jabatan kepala desa diisi melalui pemilihan langsung oleh masyarakat, maka prinsipnya kepala desa bertanggungjawab kepada masyarakat pemilihnya. Pertanggungjawaban kalau bupati kepada DPRD da kalau kepala desa kepada rakyat melalui BPD, itupun kalau menurut UU 22/99 ada perda yang mengatakan kalau kepala desa bertanggungjawab kepada BPD, tetapi UU-nya mengatakan bertanggungjawab kepada rakyat melalui BPD tapi kemudian diperkuat dengan perda bahwa kepala desa bertanggungjawab kepada BPD. Ini menjadi tidak sinkron dengan sistem yang dipilih bertanggungjawab kepada yang dipilih, kalau kita melihat model pada UU 32/2004 karena kepala desa itu dipilih maka arah pertanggungjawaban ada 3 yaitu:

1. keatas kepada LPPD, laporan pemerintah daerah;

2. kesamping LKPC, laporan pertanggungjawaban dan;

3. kebawah IPPD, informasi kepada masyarakat, pola ini yang juga dipakai kepala desa, Mengikuti model yang diatas berarti kepala desa menyampaikan laporan penyelenggaran pemerintah desa kepada Bupati, walikota, dan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD yang sifatnya informatif dan menyampaikan informasi penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat.

Polanya harus konsisten dari nasional sampai kedesa. Kalau kita lihat pola pertanggungjawaban penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh kepala desa itu ada 4 yaitu:

1. Hak asli desa yang berasal dari hak asal-usul desa;

2. Urusan pemerintah kabupaten/kota yang pelaksanaannya diserahkan kepada desa, dan saya cari asasnya tidak ada, saya menyebutnya dengan asas desentralisasi teknis, itupun masih tanda tanya, karena kalau pekerjaan itu berlangsung terus menerus maka asasnya apa?

3. Asas dalam tugas pembantuan dan ini merupakan embrio dari desentralisasi, contoh yang sedang aktual misalnya di Jawa Barat adalah inventarisasi kendaraan bermotor. Itu tugas pembantuan dari dinas pendapatan daerah, informasi harga didaerah-daerah produsen pertanian itu dikerjakan oleh desa, itu tugas pembantuan dari dinas perindustrian dan perdagangan daripada mereka harus mengirim stafnya lebih baik meminta bantuan kepada desa. Dan kemarin saya mendampingi program pemeliharaan sumber mata air di desa yang menjadi tanggungjawab provinsi. Dan kalau tugas pembantuan untuk di Jawa Barat sangat banyak dan disini ada embrio untuk menghargai pemerintah tingkat desa.

4. Urusan pemerintahan lainnya, yang jadi masalah dan kedudukan keorganisasiannya tidak jelas. Akhirnya yang menjadi perangkat desa adalah yang mau bukan yang mampu, ini memang bergeser dengan adanya kebijakan bahwa sekdes disuruh dari PNS, dan mulailah jabatan sekdes ini dilirik. Kita bicara bukan perkasus tapi gambaran umum 66.000 desa di Indonesia. Ini sangat saya khawatirkan dengan banyaknya dana yang dikucurkan ke desa dengan persiapan yang kurang, karena paling tidak akan kewalahan. Saya khawatir kalau tahun kemarin yang jadi tersangka dikejaksaan itu DPRD maka untuk tahun depannya kepala desa, karena di kabupaten Bandung itu yang terkecil 100 juta dan terbesar 200 juta pertahunnya dengan adanya ADD ini dan masih ditambah dari provinsi dan pos bantuan lainnya, maka yang jadi perangkat desa harus yang benar-benar mampu.

Jadi kalau tadi menceritakan keuangan yang hebat untuk desa, saya sangat ragu karena mereka mengurus diri sendiri saja tidak bisa. Hubungan kerja antara kepala desa dengan camat yang menurut UU Nomor 5 Tahun 1979 semula bersifat hierarkhis-subordinatif, sekarang bersifat pengawasan, pembinaan, fasilitasi dan kerjasama (tergantung pada pelimpahan kewenangan nyang diberikan bupati/walikota kepada camat). Karena kepala desa bukan perangkat daerah, maka LPPDesa dari Kepala Desa disampaikan langsung kepada Bupati/Walikota tanpa melalui camat. Sedangkan untuk melaksanakan pengawasan jalannya pemerintahan desa, pembinaan, pemberian fasilitasi dalam bentuk pelatihan atau program pendampingan, pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada camat.

Pemerintahan Desa merupakan lembaga perpanjangan pemerintah pusat memiliki peran yang strategis dalam pengaturan masyarakat desa/kelurahan dan keberhasilan pembangunan nasional. Karena perannya yang besar, maka perlu adanya Peraturan-peraturan atau Undang-Undang yang berkaitan dengan pemerintahan desa yang mengatur tentang pemerintahan desa, sehingga roda pemerintahan berjalan dengan optimal.


 

Oleh Blau dan Meyer dalam Indarwanto (2001;16) dikatakan; secara praktis sebenarnya birokrasi atau pemerintahan telah diterapkan masyarakat Mesir Kuno dan Romawi Kuno berabad-abad lamanya, pada saat mereka sibuk mengatur jaringan irigasi, membagi secara adil dan membuat dam-dam(bak penampung air) telah diterapkan prinsip-prinsip pemerintahan/birokrasi. Demikian pula dikatakan oleh Indarwanto (2001;16); masyarakat Jawa Kuno yang konon dahulu Jawa Dwipa atau Pulau

Jawa dijuluki sebagai Lumbung Padi di Kepulauan Nusantara ini, sebenarnya telah terbiasa dengan aturan-aturan; Jaga Tirto, Ulu-ulu atau Kuwowo bertalian dengan jaringan irigas, merupakan bentuk dari penerapan bentuk pemerintahan.


 

Untuk meningkatkan kinerja dari pemerintahan daerah, termasuk pemerintahan desa, pemerintah pusat beberapa kali telah mengeluarkan Undang-Undang yang berkaitan dengan hal tersebut, diantaranya Undang-Undang No, 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-Undang ini disebutkan disebutkan:


 

Desa berdasarkan undang-undang ini adalah Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat.


 

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan subsistem penyelenggaraan pemerintahan sehingga Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. Kepala Desa bertanggung jawab pada badan perwakilan Desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas tersebut kepada Bupati.


 

Desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda, dan bangunan serta dapat dituntut dan menuntut di pengadilan. Untuk itu Kepala Desa dengan persetujuan Badan Perwakilan Desa mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum dan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan.


 

Sebagai perwujudan demokrasi, di Desa di bentuk Badan Perwakilan Desa atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di Desa yang bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa.


 

Di Desa dibentuk lembaga kemasyarakatan Desa lainnya sesuai dengan kebutuhan Desa. Lembaga dimaksud merupakan mitra Pemerintah Desa dalam rangka pemberdayaan masyarakat Desa.

Desa memiliki sumber pembiayaan berupa pendapatan desa, bantuan pemerintah dan Pemerintah Daerah, pendapatan lain-lain yang sah, sumbangan pihak ketiga dan pinjaman Desa.


 

Berdasarkan hak asal-usul Desa yang besangkutan, Kepala Desa mempunyai wewenang untuk mendamaikan perkara/sengketa dari para warganya.

Dalam upaya meningkatkan dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat yang bercirikan perkotaan dibentuk Kelurahan sebagai unit Pemerintah Kelurahan yang berada di dalam daerah Kabupaten dan/atau Daerah Kota.


 

Sedangkan pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 32/2004 tentang Revisi Undang-Undang No. 22/1999 disebutkan:

  1. Kelurahan dibentuk di wilayah Kecamatan dengan Peraturan Daerah berpedoman pada Peraturan Pemerintah
  2. Kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh Lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota
  3. Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lurah mempunyai tugas:
    1. Pelaksanaan kegiatan pemerintah kelurahan
    2. Pemberdayaan masyarakat
    3. Pelayanan masyarakat
    4. Penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum
    5. Pemeliharaan prasarana dan fasilitas umum
  4. Lurah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Camat dari PNS yang menguasai pengetahuan teknik pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
  5. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Lurah bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui camat
  6. Lurah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dibantu oleh perangkat Kelurahan
  7. Untuk kelancaran tugas Lurah sebagaimana dimaksud ayat (3) dapat dibentuk lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan oleh Peraturan daerah.


 

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


 

Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan, Desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar