Rabu, 01 Juni 2011

Diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menunjukkan terjadinya pergeseran paradigma

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dari semula bersifat sentralistik, deterministik, monolistik kemudian bergeser kearah desentralistik, interaktif dan pluralistik. Namun dengan kondisi yang sepertinya dipaksakan, maka yang muncul kemudian adalah terjadinya berbagai macam konflik di kalangan masyarakat bawah khususnya BPD dan Kepala Desa. BPD sebagai badan legislatif tingkat desa merupakan penyalur resmi aspirasi masyarakat desa, kurang bisa memahami peran dan posisinya dalam pemerintahan desa. Kepala desa sebagai pelaksana pemerintahan di desa mempunyai wewenang dan kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari. Namun setelah sekian tahun tidak pernah ada yang mengusik, mengkritik, dan mengganggu jalannya pemerintahan desa, dengan munculnya BPD keadaan tersebut berbalik, setiap gerak-gerik dari kepala desa dan aparatnya harus transparan.

Setiap keputusan kepala desa yang bersifat mengatur dan mempunyai akibat pembebanan terhadap masyarakat harus dimusyawarahkan dengan BPD. Aturan-aturan dan pola-pola yang dibuat oleh pemerintah desa harus didasari pada pemahaman yang menyeluruh dan mendapat persetujuan BPD sebagai representasi rakyat desa, dan tidak lagi didasarkan pada pemahaman yang sentralistik sekaligus seragam. Namun masyarakat desa belum bisa menerima keberadaan aturan baru sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Otonomi Daerah tersebut. Akibatnya muncul berbagai macam konflik antara BPD dengan pemerintah desa.
Beberapa konflik yang sering muncul antara kepala desa dan BPD di wilayah Kecamatan Kotaanyar adalah konflik dalam penyusunan APBD desa, penyelesaian masalah tanah kas desa, pembuatan perdes, pembuatan Laporan Pertanggungjawaban Kepala Desa (LPJ Kepala Desa), dan pungutan swadaya masyarakat dan lain sebagainya. Aneka masalah baru yang bermunculan antara lain format keanggotaan BPD, protes dari kepala desa, hingga mulai maraknya politik uang (money politics) dalam proses pemilihan anggota BPD dan kekerasan politik.
Seharusnya anggota BPD tidak hanya mencampuri dan mengurusi hal-hal tersebut, tetapi memberikan masukan pada pemerintah desa bagaimana memajukan masyarakat desa, seperti bagaimana meningkatkan peran masyarakat dalam pembangunan, bagaimana masyarakat desa lebih berdaya, bagaimana mengatasi gagal panen, bagaimana mengatasi demam berdarah, dan berbagai macam persoalan lain. Permasalahan seperti ini yang menjadikan beban kepala desa semakin besar dalam melaksanakan pemerintahan desa. Beban permasalahan tersebut menjadi semakin berat dengan keberadaan BPD yang tidak bisa bekerja sama dengan pemerintah desa dikarenakan setiap anggota BPD dan Kepala desa mempunyai kepentingan sendiri-sendiri yang belum tentu sama.

Disisi lain adanya keterbatasan budget yang dimiliki oleh pemerintah desa menjadikan lembaga BPD menekan kepala desa khususnya dalam penyusunan APBD. Dan akan menjadi kendala lagi bila muncul anggapan bahwa program pemerintah hanya merupakan beban bagi masyarakat bawah. Hal ini disebabkan karena mereka merasa program-program itu bukan untuk kepentingan mereka. Sebab Lembaga BPD tidak lebih hanya dijadikan tempat lawan-lawan politik kepala desa ketika melakukan pemilihan untuk melawan kebijakan kepala desa. Karenanya keberadaan Badan Pemerintahan Desa (BPD) yang dinilai sebagai salah satu terobosan demokratisasi dan otonomi desa, ternyata malah memunculkan masalah baru di tingkat desa. Padahal, pembentukan BPD diharapkan dapat mengembangkan dinamika politik lokal (desa) sekaligus mengembangkan sosial ekonomi.

Hal tersebut menimbulkan preseden buruk di kalangan masyarakat bawah mengenai pembentukan BPD, yakni pembentukan BPD benar-benar hanya sebagai terobosan dalam berdemokrasi dan sekaligus hanya sekadar 'obat penenang' bagi masyarakat yang sedang panas. Hal lain adalah otonomi desa justru mengacaukan desa, padahal desa itu sudah otonom. Kas pengeluaran desa bertambah karena pembiayaan BPD ditanggung oleh desa. Bisa juga terjadi konflik pemilikan aset desa, serta hal lain yang dapat berdampak pada polarisasi kehidupan masyarakat dan ketidakharmonisan hubungan antara lembaga pemerintahan desa.

Adanya kewenangan BPD yang berlebihan karena berkaca pada kewenangan DPR. Dengan mengidentikkan diri sebagai legislatifnya desa membuat perannya berkesan arogan. BPD yang seharusnya berkedudukan sejajar dan menjadi mitra pemerintah desa menjelma menjadi momok pemerintah desa. Kepala desa dan perangkat ketakutan apabila sewaktu-waktu dijatuhkan BPD. Ini karena fungsi BPD sebagai pengayom kelestarian adat, legislasi, pengawasan (pengawasan pelaksanaan peraturan desa, APBD dan keputusan kepala desa) serta menampung aspirasi rakyat menjadi kabur. Pengawasan juga diartikan meliputi kinerja perangkat desa, termasuk segi positif kepala desa dan perangkat, sehingga akan memacu etos kerjanya sebagai pelayan masyarakat. Namun di sisi lain tidak jarang ditunggangi unsur subjektif, yaitu suka atau tidak suka, apalagi bila merupakan imbas pemilihan kepala desa yang dapat memicu ketidakharmonisan hubungan antara BPD dan pemerintah desa.

Reformasi yang dilakukan selama ini, pada dasarnya masih belum menyentuh akar masalah yang dihadapi oleh rakyat. Akan tetapi gema atmosfer reformasi yang melanda masyarakat Kotaanyar pada dasarnya telah membawa akibat yang seksama di tingkat desa, khususnya pada apa yang disebut dengan perubahan politik lokal. Jika pada periode sebelumnya partai politik tidak mendapat tempat, maka kini partai politik menjadi komponen yang sangat penting di desa-desa, selain birokrasi desa yang masih mempunyai sisa-sisa kewibawaan. Perubahan seperti itu sebenarnya sudah relatif lama berlangsung, khususnya di desa-desa yang terjadi konflik.

Kasus-kasus yang ada makin menyadarkan rakyat akan posisi mereka dan posisi birokrasi yang kebanyakan menjalankan fungsi sebagai "calo" bagi pihak eksternal, yang tidak membawa keuntungan pada rakyat, kecuali bagi mereka sendiri. Oleh karena itu dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi, rakyat cenderung tidak menggunakan sumberdaya politik lokal, melainkan meminjam sumberdaya politik eksternal. Perubahan ini ditandai sebagai proses bangkitnya kesadaran rakyat terhadap berbagai macam fenomena politik lokal di tingkat desa. Dengan demikian elite lokal tidak bisa diandalkan untuk diajak berdialog menyelesaikan masalah. Sumber masalah pun mudah terbaca, bukan di desa tetapi di luar desa. Di sisi lain, pengambilan kebijakan desa yang merupakan suatu proses untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang relevan dengan kondisi masyarakat desa tidak transparan. Produk pengambilan kebijakan yang seharusnya berupa nasehat sebagai keputusan bersama dan mempunyai manfaat sosial tertentu tidak mendapat tempat di dalam kehidupan masyarakat desa. Praktis kebijakan yang diambil relatif tidak menguntungkan masyarakat desa bahkan relatif lebih merugikan masyarakat. Terdapat beberapa faktor eksternal khususnya globalisasi dan faktor internal khususnya kemampuan sumber daya baik Sumber Daya Manusia maupun Sumber Daya Alam yang mempengaruhi proses pengambilan kebijakan khususnya di Kecamatan Kotaanyar. Faktor-faktor tersebut adalah faktor Sosial, faktor Budaya, faktor Ekonomi, dan faktor Lingkungan.


Di Kecamatan Kotaanyar Kabupaten Probolinggo, ada beberapa hal menarik yang menjadi persoalan umum, sehingga dengan mengkaji dan memahami perubahan yang terjadi secara obyektif dari sudut mana saja akan membuka wacana dan khasanah yang membawa masyarakat menuju masyarakat yang demokratis. Industrialisasi dan pergolakan politik nasional juga menambah usaha orang untuk lebih mengerti dan memahami masyarakat serta perubahan sosial sampai di tingkat desa. Satu perubahan sosial yang menarik perhatian seseorang adalah pengaruh yang semakin tampak dan bertambah dari bentuk-bentuk organisasi sosial hirarkis yang rasional.

Perubahan sosial yang terjadi merupakan perhatian utama bagi peneliti, disana memperlihatkan dengan jelas bahwa perubahan sosial dalam masyarakat jauh lebih besar dibandingkan dengan apa yang dibayangkan. Pernyataan yang menyatakan bahwa perubahan yang terjadi sangat cepat merupakan hal biasa dan sepele seiring dengan berkembangnya era reformasi. Ada 4 (empat) komitmen yang perlu mendapat perhatian serius dalam menjalankan agenda reformasi pemerintahan desa demi kelangsungan hidup bangsa. Keempat komitmen tersebut adalah pertama, komitmen dan kemampuan melakukan distansi terhadap persoalan sehingga kita bisa melihatnya lebih obyektif. Kedua, komitmen kepada nilai-nilai universal dan bagaimana kita menyusun kemampuan untuk mewujudkannya secara konstekstualnya. Ketiga, dilema antara elite politik dan rakyat di mana perhatian kita tentang elite politik ternyata jauh lebih banyak dibanding tentang rakyat. Keempat, bagaimana pluralitas, perbedaan pendapat dan kepentingan kelompok bisa dipadukan dengan semacam kebersamaan nasional untuk mengatasi masalah secara bersama-sama.

Pembahasan di atas memfokuskan pada empat dilema yang menjadi isu sentral saat ini, yaitu pada persoalan golongan, penegakan hukum, praktisi dan pendidikan. Realitas sosial lainnya tampak pada lumpuhnya iklim publik dan institusi publik akibat sisa penindasan era Orde Baru. Padahal pada institusi ini seluruh proses kepentingan masyarakat desa harus ditempatkan, terlepas dari seluruh pikiran dan primordialisme politik. Yang terjadi selama ini, seolah-olah ada publik, tetapi sebenarnya moral publik belum pernah ada di negeri ini.
Pertarungan kekuasaan yang terjadi selama ini dengan mudah menggunakan kesenjangan sebagai potensi-potensi konflik di bidang agama, etnik, maupun perbedaan strata kaya-miskin, pusat-daerah. Institusi agama dan lingkungan komunitas begitu mudah diluluh lantakkan oleh kekerasan politik termasuk diantaranya adalah pertarungan politik, seharusnya menjadi institusi publik, menjadi alat ukur rekrutmen sosial (social recruitment). Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Sementara sudah lama terjadi bahwa institusi pendidikan di negara ini sudah gagal menjadi institusi rekrutmen sosial. Akhirnya terjadilah allenasi antara elite dan rakyat kebanyakan. Sebagian rakyat merasa capek dan menganggap politik itu urusan elite politik saja.

F. Kesimpulan
Realita yang muncul di Kotaanyar dengan diterapkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 adalah munculnya berbagai macam konflik dengan menggunakan sumber daya yang turut mempengaruhi dinamika sosial, budaya, lingkungan dan politik masyarakat. Berbagai kasus penurunan kepala desa, penolakan hasil pilkades, usaha rakyat membongkar skandal pemerintah desa merupakan indikasi bahwa aroma perubahan sebenarnya sudah sangat kental. Beberapa konflik yang sering muncul antara kepala desa dan BPD di wilayah Kecamatan Kotaanyar adalah konflik dalam penyusunan APBD desa, penyelesaian masalah tanah kas desa, pembuatan perdes, pembuatan Laporan Pertanggungjawaban Kepala Desa (LPJ Kepala Desa), pungutan swadaya masyarakat dan lain sebagainya.

Reformasi yang dilakukan pada dasarnya masih belum menyentuh akar masalah yang dihadapi oleh rakyat. Jika pada periode sebelumnya partai politik tidak mendapat tempat, maka kini partai politik menjadi komponen yang sangat penting di desa-desa, selain birokrasi desa yang masih mempunyai sisa-sisa kewibawaan. Kasus-kasus yang ada makin menyadarkan rakyat akan posisi mereka sehingga dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi, rakyat cenderung tidak menggunakan sumberdaya politik lokal, melainkan meminjam sumberdaya politik eksternal. Perubahan ini ditandai sebagai proses bangkitnya kesadaran rakyat terhadap berbagai macam fenomena politik lokal di tingkat desa. Dengan demikian elite lokal tidak bisa diandalkan untuk diajak berdialog menyelesaikan masalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar