Rabu, 01 Juni 2011

Membangun impian sebuah desa ideal imajiner

sebenarnya yang terutama harus dilakukan bersama adalah penyamaan persepsi tentang tujuan dan kegunaan dari adanya kebijakan otonomi daerah. Ketika kita mempertanyakan mulai darimana otonomi dilaksanakan, maka yang paling utama penerapan otonomi desa. Desa yang selama ini dijadikan sapi perahan dan 'budak' terbawah dalam sebuah sistem pemerintahan ORBA yang otoriter harus diubah pemahamannya menjadi sebuah wilayah otonom yang mampu mengelola dan mengambil keputusan sendiri dalam melaksanakan pengembangan desanya, meskipun masih terkait dengan kecamatan sebagai wilayah regional yang paling dekat. Desa harus dipandang sebagai satuan terkecil dari NKRI yang mana akan memberi sumbangan dan warna dalam pembangunan keseluruhan bangsa Indonesia.


 

Penyediaan prasarana dan sarana dasar

Dalam program pengembangan masyarakat pedesaan , untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak maka dibutuhkan prasarana dan sarana dasar yang utama harus ada dalam sebuah desa antara lain :

Sarana perumahan yang sehat, indah, harmonis

Sarana kesehatan (ketersediaan air bersih, saluran pembuangan, MCK, polindes, posyandu dll)

Sarana pendidikan (formal, non formal, informal)

Sarana ibadah

Sarana ekonomi (pasar desa, koperasi serba usaha , lembaga Keuagan desa dll)

Sarana transportasi (jalan beraspal/ bersemen, alat angkut darat, dermaga & kapal laut)

Sarana komunikasi

Sarana olah raga

Sarana hiburan ( meningkatkan peran budaya lokal)

Sarana produksi

Sarana penerangan dan ketersediaan listrik

Lembaga perwakilan tingkat desa (BPD)

Sarana pengembangan kapasitas intelektual (pusat informasi desa, kepustakaan desa dll)

Litbang desa


 

P3 DT, PPK, Proyek Air bersih Ausaid, PNT, Siskes dari GTZ dll selama ini telah membantu dalam menyiapkan sarana dasar yang memadai untuk kehidupan di pedesaan. Namun hal ini belum terasa dapat memenuhi kebutuhan karena terbatasnya dana yang tersedia, tiadanya perencanaan strategis (Renstra) Desa yang didalamnya antara lain memuat rencana tata ruang tingkat desa, sehingga menyulitkan pihak luar untuk bekerja sama secara sinergis dalam membantu pengembangan sebuah desa.


 

Rencana strategis desa dan rencana umum tata ruang tingkat desa

Dalam pengembangan sebuah desa, perlu dipikirkan untuk sejak awal melakukan renstra desa dan merencanakan tata ruang tingkat desa yang mengatur peruntukan lahan yang diarahkan untuk pemukiman, sarana umum dan sosial, kawasan pertanian, kawasan peternakan, kawasan hutan, kawasan industri kecil dll yang dilakukan secara partisipatip dengan melibatkan seluruh warga desa serta "konsultan pengembangan desa" yang hanya berperan emmberi masukan tanpa memutuskan. Dalam perencanaan ini jika ada monopoli kepemilikan tanah oleh tuan tanah maupun adat, maka perlu dipikirkan adanya usaha reforma agraria/ land reform yang menjamin rasa keadilan dan mendukung perdamaian.

Penguatan dan pemberdayaan masyarakat sipil

Dalam rangka menjamin terselenggaranya kehidupan publik yang lebih demokratis, maka perlu dibangun masyarakat yang mempunyai kesadaran kritis, terbuka (inklusip), berbudaya, jujur; untuk mewujudkannya perlu diupayakan proses penyadaran secara terus menerus melalui penyadaran kritis dan latihan menganalisis tentang realitas kehidupan dalam berbagai bidang baik sosial, politik, ekonomi dlll pada aras makro (nasional) maupun mikro (tingkat kabupaten). Pendidikan kritis untuk rakyat menjadi kebutuhan yang mendesak apabila kita ingin menjadikan warga desa cerdas dan kritis, karena pengalaman selama ini masyarakat desa hanya dijadikan obyek dalam suatu penyelenggaraan pemilu dan kemudian dilupakan.


 

Untuk penguatan dan pemberdayaan masyarakat sipil di desa , perlu dilakukan :


 

Penyadaran kritis rakyat


 

Penguatan ORA (Organisasi Rakyat)


 

Pengaliran dan penyediaan informasi secara terus menerus yang mudah dicerna rakyat


 

Membangun sistem kontrol rakyat terhadap penyelenggara negara (khususnya aparat desa)

Peningkatan kemampuan ekonomi melalui kegiatan usaha produktip dan pengelolaan SDA yang lestari dan berkelnjutan.


 

Pemerintahan desa yang bersih & transparan


 

Kegagalan akan keberlajutan sebuah pembangunan pedesaan melalui pendekatan top down dan proyek, seharusnya menjadi cermin bagi kita, bahwa tanpa partisipasi dan kesadaran masyarakat untuk membangun dirinya sendiri dan memelihara hasil-hasil pembangunannya, maka keberlanjutan pembangunan sulit diharapkan. Meskipun kita meminta masyarakat untuk mengadakan perencanaan partisipatip lewat musrenbangdes (musyawarah rencana pembangunan desa) dengan menggunakan metode P3MD (Perencanaan Pembangunan Partisipatip Masyarakat Desa) , namun ketika usulan masyarakat desa yang partisipatip ini kehilangan kesempatan bagi masyarakat sendiri untuk memutuskan apa yang hendak dibangun karena yang berhak memutuskan/ mencoret adalah Bappeda maupun Bappenas, akan terlihat bahwa semua hal yang dilakukan pemerintah seolah-olah menjadi tidak berkelanjutan. Pembangunan didesa yang dilaksanakan dalam bentuk proyek, ternyata telah menjauhkan masyarakat dari rasa memiliki pembangunan untuk dirinya dan menjadi ajang pesta pora KKN bagi pinpro maupun pihak yang terkait dalam proyek tersebut. Maka akan menjadi sangat kentara dan wajar apabila para kontraktor dan pinpro menjadi 'sapi perahan' bagi yang punya kuasa baik di eksekutip, legislatip (DPR) maupun yudikatip. Dan ketika kualitas /mutu proyek semakin jelek, maka kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menjadi semakin berkurang dan masyarakat menjadi apatis, meskipun sebenarnya masyarakat juga menikmati melalui penyelewengan atau tidak dikembalikannya dana kredit yang disediakan untuk mereka (dana IDT dll).


 

Manajemen pembangunan yang berwajah sektoral, sentralistik, topdown, dengan pendekatan proyek ternyata telah menjauhkan masyarakat dari kemandirian dan keswadayaan dan membuat masyarakat semakin bergantung. Desa masih sering dianggap sebagai obyek lahan untuk melaksanakan proyek dan belum dianggap sebagai suatu wilayah otonom yang mempunyai otoritas untuk menentukan sendiri apa yang mau dibangun dari apa yang dimiliki, dan bantuan yang disediakan hanya sebagai stimulan yang mempercepat proses pengembangan masyarakat.


 

Pihak luar seperti pemerintah, LSM, Akademisi dll seharusnya hanya menjadi fasilitator, motivator dan konsultan bagi masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan program. Saat ini sebagian besar desa hanya menjadi semacam 'tempat sampah pembangunan', dimana semua sektor dengan gaya egosektoral masing-masing telah bertindak menjadi semacam sinterklas yang membagi-bagi hadiah kepada masyarakat. Dan ketika proyek dipaksakan di desa karena dikejar target dan waktu, masyarakat dengan aparat desa menjadi pelengkap penderita dari sebuah pembangunan.


 

Mengembangkan otonomi desa


 

Dijaman ORBA, desa mengalami marjinalisasi yang dibuktikan dengan pengendalian desa melalui Kepala Desa yang secara ex officio menjadi Ketua Umum LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), Ketua I dijabat oleh tokoh masyarakat, dan Ketua II oleh Ketua Tim Penggerak PKK yang tidak lain adalah istri Kepala Desa dan keberadaan wewenangnya dibawah Camat. Hal ini tertuang dari pengertian desa menurut UUPD No 5/1979, dikatakan, bahwa : "Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hokum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1.a.). Dari rumusan ini terlihat pemahaman desa merupakan representasi pemerintah pusat, artinya kewenangan memutuskan ada ditangan pemerintah pusat dan apa yang dianggap baik oleh pusat akan dirasa baik pula untuk desa. Asumsi ini sangat kental dengan nuansa sentralistik dan mengkebiri peran desa sebagai wilayah yang otonom dan cenderung mengabaikan kebutuhan dan kepentingan rakyat yang sesungguhnya.


 

Di era reformasi, keinginan melaksanakan desentralisasi menjadi sangat kuat sebagai keputusan politik serta mengubah pendekatan top down dengan bottom up. Dalam UU No. 22 th 1999, pasal 1(o) disebutkan bahwa pengertian desa atau apa yang disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asa usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Pada (p) disebutkan bahwa kawasan pedesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.


 

Pencabutan UUPD No. 5/1979 dan digantikan dengan UU No. 22 tahun 1999 merupakan wujud keseriusan pemerintah transisi untuk mengakhiri dari pembangunan desa yang berwajah sentralistik, penyeragaman, ketakberdayaan (depowering), alat mobilisasi dan mengedepankan kekuasaan menuju pembangunan desa yang terdesentralisasi, memberikan ruang untuk keanekaragaman budaya, pemberdayaan (empowering) , partisipatip dan mengedepankan kesejahteraan rakyat. Penempatan desa secara otonom akan memberi peluang bagi desa untuk tumbuh secara wajar, menampung aspirasi dan kepentingan rakyat banyak. Kedaulatan rakyat menjadi realitas, dan rakyat semakin ditumbuhkan dalam daya nalar, daya analitis sehingga menjadi cerdas dan kritis. Rakyat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengemukakan dan memutuskan apa yang akan dibangun, swadaya apa saja yang dapat disiapkan , teknologi apa yang akan dipilih dll. Desa bukan lagi menjadi daerah kekuasaan para pejabat /birokrat, tetapi sebaliknya para pejabat diharapkan menjadi fasilitator, konsultan, mediator, motivator, dan bukannya justru menjadi koruptor, sehingga mampu mempercepat kesejahteraan warga desa. Hal ini sesuai dengan semboyan pegawai negeri yang mengklaim dirinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat sehingga tidak berhenti sebagai retorika belaka, melainkan diwujudkan dalam pengabdian melaksanakan tugasnya. Maka sudah bukan jamannya lagi jika masih ditemui pejabat yang arogan dan hanya mau dilayani, karena saat ini lebih dibutuhkan pejabat yang mau melayani dan rendah hati yang mampu melihat warga desa bukan sebagai abdi/bawahan yang lebih rendah derajad sosialnya, melainkan memandang masyarakat sebagai mitra sejajar yang membutuhkan uluran tangan dan pemikirannya untuk dapat hidup lebih bermartabat dan manusiawi, sejahtera lahir dan batin. Para pejabat, Pemuka agama, Pemuka Masyarakat, Pemuka Adat, LSM, Pengusaha dll serta semua pihak yang berkehendak baik untuk masyarakat perlu membantu dengan segala daya upaya agar warga desa menjadi semakin berdaya, kritis, cerdas dan semakin mampu menolong diri sendiri dan sesama di desanya. Yang diperlukan saat ini adalah kebersamaan kita dengan warga desa untuk membantu menfasilitasi pembuatan renstra desa, master-plan desa (mengatur tata ruang desa, tata guna/ peruntukan lahan), peningkatan ketrampilan teknis dan kemampuan berbisnis bagi warga desa, penyiapan sarana yang dibutuhkan untuk pengembangan ekonomi kerakyatan (seperti jalan beraspal/bersemen, alat traspor, sarana telepon, listrik, dermaga dll) sehingga semua potensi desa baik SDM maupun SDA dapat dioptimalkan pengelolaannya sehingga pada akhirnya juga memberi sumbangan yang berarti bagi PAD (Pendapatan Asli Desa) tanpa merusak lingkungan dan tetap menjaga keberlanjutan daya dukungnya bagi anak cucu. Dengan meningkatnya pendapatan asli desa, maka dengan sendirinya akan memperkuat otonomi daerah karena akan meningkatkan PAD kabupaten melalui peningkatan produktivitas yang tinggi dan peningkatan perputaran ekonomi di tingkat desa. Maka OTDA tidak diartikan peningkatan penarikan pajak kepada warga, namun dipahami sebagai mengoptimalkan semua potensi yang dimiliki daerah dengan bekerja secara professional yang mendasarkan pada prinsip efisiensi dan efektivitas. Maka APBD tingkat kabupaten juga harus menampakkan tampilan kinerja yang efisien dan tidak menghabiskan anggaran hanya untuk menutup biaya rutin seperti gaji pegawai, pembelian fasilitas kantor, SPJ pejabat dsb, tetapi juga menuntut pegawai negeri untuk lebih profesional dalam melayani kepentingan publik yang telah menyediakan dana untuk pembayaran gajinya.


 

Mari kita kembangkan otonomi desa untuk memperkuat OTDA dan tidak perlu meremehkan keberadaan desa, karena sebenarnya kehidupan kota sangat bergantung pada pasokan bahan baku dari desa, baik dalam penyediaan bahan pangan maupun kebutuhan lainnya.


 

Dengan demikian harus ada prioritas bagi Pemerintahan desa sebagai aparat negara yang paling dekat dengan rakyat di desa untuk diberdayakan terlebih dahulu, karena seperti kita ketahui masyarakat masih bersifat paternalistik dan sangat bergantung pada tokoh adat, dan tokoh agama . Pengelola pemerintahan desa harus memegang prinsip partisipatip, bottom up dan menfasilitasi aspirasi masyarakat, dan bukan menjadi bawahan Camat maupun Bupati. Pemerintahan desa harus memikirkan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan mendasarkan pada potensi lokal yang ada tanpa merusaknya , menjamin rasa aman, mewujudkan keadilan dan perdamaian bagi warganya. Pemerintahan desa juga harus transparan dalam hal kebijakan yang diambil, penggunaan keuangan dan mampu mempertanggungjawabkannya kepada warga sebagai wujud tanggungjawabnya kepada publik dan yang pasti kepad Sang Pencipta. Dengan demikian setiap kebijakan yang diambil harus merupakan representasi dari aspirasi masyarakat dan harus selalu memihak pada kepentingan rakyat, bukan kepentingan pejabat maupun kalangan bisnis dari luar. Badan perwakilan Desa (BPD) harus mampu mengontrol penyelenggaraan pemerintahan di desa, namun tidak boleh menjadi arogan dalam artian BPD juga harus dikontrol oleh masyarakat desa yang memilihnya. Dan harus ada perubahan sistem dalam manajemen pemeritahan negara Indonesia, dimana desa diberi wewenang untuk memutuskan apa saja yang akan dilakukan dalam satu tahun, sehingga bukan lagi Bappeda yang memutuskan, namun tetap dalam keterkaitan dengan wilayah lain dan peran Bappeda dibutuhkan dalam membantu keterkaitan dalam tataran makro.


 

Namun sayangnya baru beberapa tahun UU 22/1999 berjalan, Pemerintah telah menggantinya dengan UU 32/2004 yang mengganti BPD menjadi Badan Permusyawaratan Desa sehingga tidak lagi menjadi badan yang mampu menyuarakan kepentingan warga desa.


 

Pengembangan ekonomi kerakyatan


 

Perekonomian merupakan denyut nadi yang utama dalam pengembangan pedesaan. Peningkatan taraf hidup masyarakat desa sangat bergantung pada tingkat pendapatan yang mempengaruhi dalam kemampuan mencukupi kebutuhan sehari-hari dan tabungan untuk investasi/ modal usaha.


 

Masalah utama yang dilihat dalam pedesaan sebenarnya bukan masalah modal berupa uang untuk modal usaha, namun yang lebih utama adalah masih lemahnya jiwa dan ketrampilan berbisnis/berusaha, kurangnya kemampuan mengelola ERT (Ekonomi Rumah Tangga) sehingga menjadi ERT (Ekonomi Ribut Terus), tergerusnya aset/kekayaan karena biaya sosial yang tinggi mengatasnamakan adat yang bertubi- tubi. Tapi tidak berarti kita meniadakan adat/budaya melainkan bagaimana nilai-nilai luhur tetap terpelihara dan diterapkan namun terjadi pengurangan/ rasionalisasi dalam pembiayaannya.


 

Kita sering mendengar keluhan masyarakat yang selalu mengeluh ketiadaan uang sebagai modal dalam berusaha, namun kalau kita mau mengkaji lebih jauh, banyak faktor yang mempengaruhi lambatnya peningkatan pendapatan masyarakat, meskipun berbagai upaya untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan oleh pemerintah telah sangat gencar dilakukan, mulai dari IDT, P3DT, PPK, maupun dari pihak lain seperti dari LSM, bantuan luar negeri dll. Menjadi pertanyaan kita, kemana uang bantuan yang selama ini mereka terima ?


 

Dari perspektip makro, maka kegagalan masyarakat desa mengentaskan diri dari kemiskinan antara lain disebabkan :

Kebijakan pembangunan yang selalu terpusat (sentralistik) di ibukota baik ibukota negara, propinsi, kabupaten maupun kecamatan, sehingga prasarana dan sarana dasar hanya terbangun diseputar ibukota tersebut.

Kebijakan ekonomi nasional selama ini lebih memihak kaum kapitalis /konglomerat, sehingga desa hanya dijadikan obyek dan diperas SDA nya untuk kepentingan kaum kapitalis. Kebijakan ekonomi yang diambil tidak berdasar ekonomi kerakyatan seperti yang diharapkan oleh pendiri bangsa dalam pasal 33 UUD 45.


 

Dalam UUPD No 5/1979, dikatakan, bahwa : "Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1.a.). yang mengartikan desa sebagai bawahan Camat sehingga tidak menjadikan desa sebagai daerah yang otonom. Masyarakat beserta Kepala Desa tidak mampu menolak semua kepentingan dari luar meski tidak sesuai dengan kehendak/aspirasi masyarakat desa. Maka desa hanya dijadikan obyek pembangunan dan 'tempat sampah pembuangan semua jenis proyek'


 

Dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi, desa tidak mempunyai akses ke jaringan pasar karena tiadanya sarana komunikasi untuk mendapat informasi harga maupun kebutuhan pasar dan rendahnya posisi tawar dalam berbisnis serta tiadanya jaringan pemasaran bersama , sehingga banyak kegiatan usaha produktip menjadi sia-sia karena produknya tidak mampu mengakses ke pasar. Kalaupun desa dijadikan tempat industri melalui program PIR, sebenarnya keuntungan lebih banyak dinikmati oleh pengusaha daripada rakyat di desa tersebut. Ketika ada usaha pengelolaan SDA yang ada di desa, maka keuntungan akan ke pemerintah pusat dan daerah serta pengusaha, sementara yang masuk sebagai pendapatan desa sangat kecil prosentasenya.

Dalam kaitanya dengan kebijakan makro, maka sebenarnya kebijakan pembangunan telah mengorbankan sektor pertanian dimana sebagian besar warga desa merupakan petani sehingga berakibat sulitnya meningkatkan harkat dan martabat warga desa/ petani melalui peningkatan kesejahteraan hidupnya.


 

Ironis memang begitu banyak pejabat yang "menjadi orang" karena jerih payah orang tuanya yang petani namun setelah menduduki jabatan lupa membangun infrastruktur di desa dan membantu keluarganya yang berprofesi sebagai petani.


 

Dalam perspektip mikro, maka kegagalan masyarakat desa mengentaskan diri dari kemiskinan antara lain disebabkan :


 

Rendahnya kemampuan manajemen wirausaha/ bisnis yang dimiliki rakyat desa karena ketiadaan pelatihan dan dukungan dari pihak terkait.


 

Adanya kebiasaan hidup boros atas nama adat-istiadat setempat, sehingga banyak uang yang tidak dapat disisihkan untuk modal/investasi.


 

Rendahnya ketrampilan teknis yang dimiliki masayarakat desa terkait dengan usaha yang dipilih dan dijalankan sehingga tidak efisien dan berakibat pada rendahnya produktivitas kerja.


 

Terbatasnya kapasitas intelektual karena kebiasaan budaya lisan dan kurangnya budaya "baca", diskusi maupun keinginan menambah informasi dari berbagai mass media (radio, TV, surat kabar, majalah, poster, leaflet , internet dll). Seandainya program warnet pedesaan benar-benar bisa terwujud alangkah indahnya.


 

Adanya budaya paternalistik dan pemilik modal/ tuan tanah yang menguasai sebagian besar asset di desa sehingga menimbulkan ketimpangan pendapatan dan ketidakadilan.


 

Pengembangan institusi keuangan di tingkat desa yang mampu dikelola oleh warga desa seperti Koperasi kredit sangat diperlukan sehingga terdapat institusi keuangan pengganti bank yang mengakibatkan terjadinya perputaran uang ditingkat desa, dan dalam penyediaan kebutuhan sehari-hari di desa diharapkan juga tersedia 'mall' ala desa alias warung serba ada yang menjual barang dengan harga wajar dan adil. Maka penguatan organisasi/ badan ekonomi desa seperti koperasi menjadi sangat startegis karena keuntungan akan dinikmati oleh warga desa sebagai anggota koperasi dan menumbuhkan solidaritas sejati diantara warga.


 

Pengembangan industrialisasi pedesaaan

Dalam pengembangan lebih lanjut, perlu dipikirkan untuk membangun sebuah industri skala kecil yang mampu mengolah hasil pertanian, peternakan maupun perkebunan dan kehutanan sehingga tidak terjadi pembuangan hasil yang melimpah karena tidak mampu dipasarkan, dan terjadi proses daur ulang yang terus menerus sehingga limbah mampu terolah dan kembali termanfaatkansebagai sebuah siklus yang berkelanjutan. Disamping itu industri yang dibangun juga harus mempertimbangkan penggunaan teknologi tepat guna yang mampu dikuasai masyarakat setempat, tidak padat modal dan juga dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti minyak kelapa, sabun, margarin/keju, tepung untuk makanan kecil dll. Pemanfaatn minyak kelapa dan minyak jarak untuk pembangkit listrik tenaga diesel di Ende sangat menarik untuk dikaji karena hasil olahan masyarakat langsung dapat "pasar" yang pasti. Demikian pula untuk memperoleh minyak jarak tidak dibutuhkan modal yang banyak untuk pembelian mesin pengolahnya kira-kira sekitar 150 juta yang dapat didanani dari ADD (Alokasi dana Desa). Industri kerajinan kayu/rotan untuk meubel, cindera mata dll, industri penyamakan kulit hewan, industri kerajinan makanan olahan dsb dapat menjadi pilihan dalam pengembangan industri di desa sehingga mampu meningkatkan nilai tambah yang dengan sendirinya juga akan meningkatkan pendapatan. Produk asinan, manisan, tepung, keripik , dodol dsb dapat menjadi andalan apabila diproses dan dikemas secara baik dan higienis.


 

Kehidupan yang selaras alam

Pengelolaan SDA berbasis masyarakat harus terwujud dalam realitas, bukan hanya sekedar retorika saja. Hal ini akan menumbuhkan rasa tanggung jawab yang besar dari masyarakat sekitar SDA karena mereka akan menyadari pentingnya pengelolaan SDA yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yang secara langsung menyangkut hajat hidup masyarakat dilokasi SDA berada. Dengan pengelolaan SDA oleh rakyat, maka mereka akan langsung merasakan manfaatnya bagi peningkatan taraf kehidupannya dan diharapkan akan mengelolanya dengan penuh tanggung jawab. Disamping itu dengan pengelolan berada di tangan rakyat, maka akan ada pemberdayaan ditingkat masyarakat, karena mereka akan memperoleh pelatihan teknis maupun manajemen dari dinas kemakmuran rakyat (dinas perkebunan, kehutanan, pertambangan, peternakan dll) sehingga secara kualitas kemampuan masyarakat bertambah.


 

Pengembangan pertanian juga akan mengikuti prinsip keselarasan dengan alam dengan mengembangkan Pertanian Berkelanjutan yang ramah lingkungan, memanfaatkan input lokal sehingga tidak dijumpai penggunaan pupuk kimia dan pestisida pabrik yang dapat meningkatkan pencemaran lingkungan dan membuat ketergantungan petani. Benih yang digunakannyapun benih lokal unggul sehingga mereka dapat menyiapkan secara mandiri setiap tahun tanpa harus membeli. Mereka tidak melaksanakan penananam tunggal (monocroping) melainkan diversifikasi/ multicroping yang saling memnguntungkan baik secara ekonomis, ekologis , produksi dan budaya. Mereka menambah kesuburan lahan dengan menanam tanaman jenis legum (termasuk salah satunya asam), memanfaatkan pupuk organis dari kotoran hewan/ternak, daun-daun legume, kompos dll.


 

Pengembangan peternakan juga memperhatikan daya dukung lahan dan tidak dibiarkan lepas sehingga tidak merusak kebun beserta tanamannya.


 

Demokratis yang santun

Masyarakat sudah semakin berani menyuarakan aspirasinya, menuntut haknya sekaligus secara bersamaan melaksanakan kewajibannya secara bertanggungjawab. Mereka akan semakin kritis terhadap penyimpangan yang terjadi dan dengan adanya sistem kontrol yang ada ditangan rakyat, maka siapa saja yang melanggar hukum akan dikenai hukuman yang setimpal dan adil. Mereka tidak lagi menjadi masyarakat yang paternalistik dan hanya mengangguk saja, melainkan berani menyuarakan pendapat yang berbeda sepanjang pendapat itu lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan secara nalar dan nurani. Perbedaan pendapat yang ada tidak menyebabkan perkelahian secara fisik, namun justru lebih mengedepankan pikiran yang nalar, tidak emosional, namun mencari solusi yang terbaik. Penilaian kinerja aparat desa dilakukan secara transparan, menggunakan indikator yang terukur (SMART) yang disepakati bersama antara aparat dan warganya, sehingga tidak lagi terjebak dalam sentimen keagamaan sempit, kesukuan, ras maupun rasa suka tidak suka. Aparat desa mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada warga dan warga berhak menilai berdasar indikator yang sudah disepakati Demikian pula dalam rekruitmen aparat desa , tidak ada lagi kolusi, suap maupun bentuk penyelewengan lainnya, karena proses rekruitmen aparat desa sangat transparan dengan kriteria yang jelas dan beberapa warga yang mewakilinya menjadi pengujinya. Peserta yang tidak lulus boleh bertanya apa penyebab dirinya tidak lulus dan foto kopi hasil tes dikembalikan kepada peserta.


 

Persaudaran sejati


 

Di desa imajiner ini sudah tidak ada lagi kata pendatang dan asli, nonpri dan pribumi, tidak lagi membedakan muslim atau non muslim, tidak ada lagi kerusuhan berbau SARA, karena kehidupan didasarkan kepada keimanan yang benar, jernih dan rasional dengan tingkat religiositas yang tinggi yang terwujud dalam kasih kepada manusia lainnya sebagai sesama ciptaan Tuhan. Tidak ada lagi sentimen kedaerahan dalam kehidupan keseharian meski desa ini terdiri dari berbagai macam agama, suku, ras, budaya. Karena mendasarkan kasih dalam kehidupan keseharian, maka yang terjadi adalah saling tolong menolong dengan ketulusan dan keiklasan hati, tidak ada lagi iri hati/cemburu, tidak ada lagi kesombongan meskipun ada yang kaya dan miskin, ada yang sebagai pejabat dan rakyat. Meskipun berbeda keyakinan/iman, mereka bekerja sama mengentaskan kemiskinan dan mengatasi kesulitan warga lainnya yang ada didesanya, membangun sarana umum secara bersama. Tidak ada lagi kelompok merah atau putih yang saling berseteru dan saling membinasakan, karena mereka telah melebur menjadi merah-putih seperti bendera kebangsaan yang kita cintai, dimana diartikan merah adalah berani dan putih adalah suci sehingga kita berani karena suci. Bukan membinasakan yang berbeda keyakinan untuk atas nama penyimpangan yang disimbolkan sebagai sebuah perang suci, melainkan saling bergandengan tangan bahu membahu mengurangi penderitaan dan permasalahan untuk menjangkau kehidupan yang lebih berharkat dan bermartabat.


 

Mari kita wujudkan mimpi menjadi kenyataan !!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar