Rabu, 01 Juni 2011

Pendekatan Pembangunan Desa

Program pembangunan pedesaan telah dimulai sejak tahun 1946 yang digagas oleh Amerika dan Inggeris di India. Hampir satu abad pelaksanaan program pedesaan di dunia, di Indonesia proyek pembangunan pedesaan sudah dimulai sejak awal kemerdekaan. Apa yang kita rasakan hasil dari program pedesaan selama ini, yang ppaling dirasakan tentulah orang kota, para birokrat dan pengusaha bahkan multinasional. Dengan mengutip Frankel, Feder, Galti, Bennholdt Thomson, dan Goerge bahwa program-program pemodrenan pertanian yang dibiayai negara-negara kapitalis dan pinjaman Bank Dunia dan kelembagaan lain hanya akan menguntungkan negara kapitalis dan kelembagaan keuangan internasional tersebut.

Secara garis besar pendekatan pembangunan pedesaan mengacu pada tiga aliran besar, yaitu pertama

pendekatan teknokrat, 

menghubungakan pembangunan pedesaan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertanian dengan tekologi pertanian. Pendekatan ini berinduk kepada teori ekonomi liberal, dimana dengan out put utamanya adalah modernisasi pedesaan. Pendektan ini banyak mendapat kecaman dari beberapa pihak karena percepatan teknologi yang tidak liniear dengan situasi social ekonomi pedesaan, sering kali mekanisasi pertanian menyebabkan permasalahan baru bagi masyarakat desa. Teknokrat sendiri berasal dari kata teknikal dan birokratik.

Kedua, 

revolusioner 

dengan pusat analisisnya adalah sejarah kapitaslisme menuju ke sosialisme, dengan aliran pemikiran yang dipakai adalah pemikiran Marxisme. Asumsi teoritisnya adalah bahwa kapaitalisme menciptakan ketergantungan dan penghisapan. Maka pendekatan ini mencoba melepaskan diri dari pengaruh sistem global dan memperkuat kemampuan dalam negeri sendiri, jika negara-negara miskin makin tergantung dengan kapitalisme akan menjerumuskan negara miskin ke jurang kemiskinan yang lebih parah lagi. Asumsi teori ini bahwa campur tangan pemerintah dalam program pedesaan tidak akan membawa pengaruh positif jangka panjang bagi pemberantasan kemiskinan selagi pemerintah tidak memiliki otonomi sepenuhnya dari corak pembangunan yang diinginkan  dan membebaskan diri dari campur tangan tuan-tuan tanah, birokrat kapitalis, pemodal tempatan dan internasional.

Ketiga  

pendektan reformis, 

pendekatan ini mencoba untuk tidak hulu ke dua aliran besar pemikiran dunia tetapi mencoba beranjak dari asusmsi kedua aliran pemikiran dua tersebut tetapi tetap mengakamodasi kedua aliran tersebut untuk tujuan pertumbuhan pertanian dan pemerataan pendapatan. Pendeaktan ini berorientasi pada hasil dengan memanfaatkan semua in put yang dapat mempercepat out put.

Dalam hal ini adalah program pembangunan pedesaan yang diperkenalkan, dilaksanakan dan dinyatakan gagal oleh UNESCO adalah program pembangunan komuniti (Community Development -/CD). Program pembangunan pedesaan yang telah dijalankan oleh PBB melalui Unesco ataupun yang dijalankan oleh Amerika Serikat dan Inggeris ini telah gagal pada awal tahun 1960-an padahal telah dijalankan tahun 1948.

Kelemahan utama CD adalah bersumber dari hipotesisnya tentang masyarakat desa. CD melihat masyarakat desa bersifat homogen, mempunyai kepentingan bersama dan mampu menyelesaikan masalah secara bersama. Oleh sebab itu, peranan pemerintah hanyalah sebagai perancang strategi pembangunan, dan pengadaaan kemudahan serta pelayanan kepada masyarakat. Padahal hipotesis itu hanya ilusi semata, sebab pada masyarakat desa terdapat stratifikasi sosial dan ekonomi dan terjadinya konflik laten dalam perebutan sumber daya ekonomi dan politik.

Selain itu, agen-agen perubahan CD tidak mampu berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Seperti yang terjadi di India, seorang agen harus bertangung jawab terhadap ribuan penduduk. Akibatnya, agen-agen tersebut tidak mampu mengajak masyarakat merintis perubahan. Bahkan CD justeru tidak mampu membantu masyarakat yang seharusnya mendapat bantuan. Keuntungan hanya dinikmati lapisan masyarakat tertentu yang merupakan elit di desa karena kedudukannya yang mantap atau pendatang yang segaja mengikuti program tersebut. Mereka ini memang lapisan petani progresif yang telah mempersiapkan perubahan. Sementara petani kecil, penyewa dan buruh tani tidak mengalami perubahan yang berarti. Myrdal (1968) menyebutkan bahwa program CD hanya menjadi alat pemerintah untuk menyalurkan bantuan kepada yang tidak begitu miskin.

Menurut Hunt (1966) pula, hampir semua laporan projek CD menekankan kecendrungan ke arah perencanaan dari atas Top Down of Planning bukannya perencanaan program dari masyarakat desa sendiri. Akibatnya perubahan yang dilaporkan lebih bersifat kuantitatif. Agen-agen perubahan cenderung memfokuskan pada proyek-proyek yang dapat dilihat dari mata kasar, karena lebih menonjolkan usaha mereka bukan yang dilakukan rakyat desa.

Kegagalan program CD ternyata masih diikuti pula kegagalan program pengantinya yaitu revolusi hijau. Program Revolusi Hijau berkembang tahun 1960-an, yang berorientasi pada penggunaan teknologi petanian dan bibit yang berproduksi tinggi. Program ini juga, secara internasional hanya berlangsung selama 10 tahun, disebabkan beberapa kelemahannya dan dinyatakan gagal pada tahun 1970-an.

Diantara kelemahan revolusi hijau kurangnnya mempertimbangkan aspek sosial, semata-mata pertimbangan ekonomi. Keuntungan hanya diperoleh oleh petani kaya yang dengan mudah mendapatakan teknologi pertanaian sedangkan petani kecil, penyewa tanah dan buruh tani tentu tidak dapat memanfaatkannya. Selain itu, pendektan ini mengabaikan dampak dari kemasukan teknologi terhadap perubahan sosial di desa serta sempitnya pemahaman masyarakat desa, sebagaimana pada program CD.

Selama orde baru pemerintah Indonesia memperkenal program revolusi hijau ke seluruh Indonesia. Menurut Hüsken, hasilnya sangat mengejutkan bahwa revolusi hijau telah menimbulkan permasalahan besar pada masyarakat pedesaan, kesempatan kerja di pedesaan menurun dratis, kesenjangan petani kaya dengan petani kecil dan buruh tani semakin melebar. Sementara itu, perempuan yang dulu memegang peranan penting dalam menanam, menyiangi dan memanen hilang pekerjaannya.

Kegagalan program revolusi hijau memaksa dunia internasional mengembangkan program pembangunan desa berhaluan kemiskinan. Program pembangunan desa dikembangkan tahun tahun 1970 oleh seluruh lembaga bantuan keuangan dunia, sebagai kritik terhadap program sebelumnya. Program ini menjadikan petani kecil dan miskin sebagai sasaran utama pembangunan dengan melibatkan petani secara aktif dalam pembangunan. Masyarakat desa sebagai subjek yang dinamis. Sebagaimana program sebelumnya program ini juga dilaksanakan secara besar-besaran di negara dunia ketiga secara bersamaan.

Ternyata melalui progam ini 50% dari seluruh program dinyatakan berhasil. Namun demikian program ini juga tidak lepas dari kelemahan, yaitu belum jelasnya konsep petani kecil sehingga juga akan menguntungkan petani kaya yang progresif. Selain itu, program ini hanya mengutamakan in-put tidak out-put dan semata-mata atas pertimbangan pertumbuhan ekonomi, akibatnya program ini juga menyebabkan perombakan pada struktur sosial.

Setelah era reformasi, pemerintah Habibie melaksankan program IDT (inpres desa tertinggal) untuk membangun desa. Fokus program ini dtujukan pada katagori desa-desa miskin. Program ini sendiri tampaknya belajar dari konsep Pembangunan Pedesaan Berhaluan Kemiskian. Sayangnya, begitu pemerintah Habibie lengser program inipun hilang dibawa angin tanpa bekas, Bisa dikatakan gagal total.

Faktor kegagalan IDT hampir sama dengan faktor kegagalan program lainnya, masyarakat desa diasumsikan homogen, kemiskinan bukan rumah tangga tetapi adalah desa, besarnya keterlibatan birokrasi, fungsi pendamping yang tidak tepat dan tidak mempunyai pengetahuan yang jelas tentang masyarakat desa. Faktor yang terpenting adalah belum tegasnya bentuk usaha yang harus dilakukan, serta lemahnya kontrol dari masyarakat.

Di era Megawati, program pedesaan yang menonjol dan tetap ada sampa sekarang adalah PPK (Program Pengembangan Kecamatan). Departemen Dalam Negeri mengklaim program ini sangat berhasil sehingga mengeluarkan edaran agar setiap daerah menerapkan model PPK ini sebagai acuan pemberdayaan desa. Ternyata program yang diagung-agung keberhasilnnya tersebut lebih fokus pada pembangunan fisik, sementara program ekonomi dan pembangunan sosialnya hampir tidak tersedia. Jika indikatornya adalah pembangunan fisik tentulah program ini berhasil, tetapi PPK ini sendiri hanya menyentuh kelas elit dipedesaan saja.

Rezim SBY (Susilo Bambang Yudoyono) tetap melanjutkan program PPK yang kemudian diobah namanya menjadi PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri yang konsepnya tetap menggunkan konsep PPK dengan sumber pembiyaan dari pemerintah daerah. Selain program PPK, rezim SBY juga memperkenalkan program Beras Miskin (Raskin), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Asuransi kesehatan keluarga miskin (Askeskin), dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) serta Prona Pertanahan, Desa sehat. dan program lain yang ada di departemen seperti Program Desa Rawan Pangan, Program Desa Pinggir Hutan, dan seterusnya dimana semua departemen mengatasnamakan kemiskinan dengan target program pedesaan. Sementara itu, disetiap provinsi dan kabupaten memiliki program pemberdayaan sendiri-sendiri yang tida saling berkaitan dengan sararan desa. Ini artinya departemen, provinsi dan kabupaten beramai-ramai membuang uang di desa tanpa satu koordinasi yang kuat dan jelas, sementara hasilnya bisa diperdebatkan. Mengapa tidak mencontoh model Afrika Selatan misalnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar