Rabu, 01 Juni 2011

Perkembangan Perundang2an Desa

Secara umum di Indonesia, desa atau yang disebut dengan nama lain sesuai bahasa daerah setempat dapat dikatakan sebagai suatu wilayah terkecil yang dikelola secara formal dan mandiri oleh kelompok masyarakat yang berdiam di dalamnya dengan aturan-aturan yang disepakati bersama, dengan tujuan menciptakan keteraturan, kebahagiaan dan kesejahteraan bersama yang dianggap menjadi hak dan tanggungjawab bersama kelompok masyarakat tersebut.

Dalam sistem administrasi negara yang berlaku sekarang di Indonesia, wilayah desa merupakan bagian dari wilayah kecamatan, sehingga camat menjadi "instrumen" koordinator dari penguasa supra desa, yakni Negara melalui Pemerintah dan pemerintah daerah, terhadap desa-desa yang ada di dalam wilayah kecamatan. Pada awalnya, sebelum terbentukya sistem pemerintahan yang menguasai seluruh bumi nusantara sebagai suatu kesatuan negara, urusan-urusan yang dikelola oleh desa adalah urusan-urusan yang memang telah dijalankan secara turun temurun sebagai norma-norma atau bahkan sebagian dari norma-norma itu telah melembaga menjadi suatu bentuk hukum yang mengikat dan harus dipatuhi bersama oleh masyarakat desa, yang dikenal sebagai hukum adat. Urusan yang dijalankan secara turun temurun ini meliputi baik urusan yang hanya murni tentang adat istiadat, maupun urusan pelayanan masyarakat dan pembangunan (dalam administrasi pemerintahan dikenal sebagai urusan pemerintahan), bahkan sampai pada masalah penerapan sanksi, baik secara perdata maupun pidana. Urusan yang demikian, dalam teori dan praktek sistem pemerintahan daerah di Indonesia, selama ini dikenal sebagai "urusan asal-usul".

Dalam perkembangannya, setelah terbentuknya Negara Republik Indonesia, urusan desa menjadi bertambah, antara lain dengan masuknya urusan-urusan yang timbul karena adanya pemerintahan negara sebagai kekuasaan supra desa. Dalam hal ini Pemerintah, baik secara langsung dan dengan tugas pembantuan ataupun melalui pemerintah daerah dengan desentralisasi otonomi, memerlukan bantuan dari desa untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan yang dilaksanakan di tingkat "akar rumput" (grass roots).

Deskripsi di atas disimpulkan secara umum dari kondisi serta pengaturan yang pernah ada sejak masa sebelum datangnya kekuasaan penjajahan kolonial hingga saat ini. Berbagai periode kekuasaan dan pengaturan telah dilalui oleh desa dalam perjalanan yang sangat panjang. Dalam hal pengaturan, disamping tumbuh dan berkembangnya adat istiadat serta prakarsa masyarakatnya, berbagai kepentingan politik penguasa di tingkat supra desa telah pula ikut mewarnai pengelolaan desa dan masyarakatnya. Namun demikian, karena pada dasarnya keberadaan desa sangat tergantung pada kehendak masyarakat pengelolanya, maka sistem pengelolaan desa yang berkembangpun menjadi sangat beragam.

Dalam literatur modern di Indonesia, sistem pengelolaan desa secara formal tercatat sejak zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda dengan dikeluarkannya dua peraturan perundang-undangan, yaitu: Staadsblad No. 83 Tahun 1906 tentang Indische Gemeente Ordonantie (IGO) yang berlaku bagi desa-desa di pulau Jawa dan Madura, dan Staatsblad No. 683 Tahun 1938 tentang Indische Gemeente Ordonantie Buitengevesten (IGOB) yang berlaku bagi desa-desa di luar pulau Jawa dan Madura. Kedua peraturan tersebut banyak "menyerahkan" persoalan masyarakat desa kepada hukum adat masing-masing.

Kemudian setelah merdeka, konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Undang-undang Dasar (UUD) 1945 (sebelum amandemen) dalam Penjelasannya mencantumkan:

Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volkgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.

Dalam paragraf berikutnya dari Penjelasan UUD 1945 tersebut, dinyatakan:

Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.

Atas dasar Penjelasan UUD 1945 inilah, 3 tahun kemudian dibuat pengaturan tentang desa yang dimasukkan ke dalam UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dimana desa digolongkan sebagai pemerintah daerah tingkat III. Penjelasan umum UU No. 22 Tahun 1948 menyebutkan alasan untuk mengatur desa sebagai daerah tingkat ketiga:

Menurut Undang-undang pokok ini, maka daerah otonoom yang terbawah ialah desa, negeri, marga, kota kecil dan sebagainya. Ini berarti bahwa desa ditaruh kedalam lingkungan pemerintahan yang modern tidak ditarik diluarnya sebagai waktu yang lampau. Pada jaman itu tentunya pemerintahan penjajah mengerti, bahwa desa itu adalah sendi negara, mengerti bahwa desa sebagai sendi negara itu harus diperbaiki segala-segalanya, diperkuat dan didinamiseer, supaya dengan begitu negara bisa mengalami kemajuan. Tetapi untuk kepentingan penjajahan, maka desa dibiarkan saja tetap statis (tetap keadaannya). Pemberian hak otonomi menurut ini, Gemeente-ordonnantie adalah tidak berarti apa-apa, karena desa dengan hak itu tidak bisa berbuat apa-apa, oleh karena tidak mempunyai keuangan dan oleh ordonnantie itu diikat pada adat-adat, yang sebetulnya didesa itu sudah tidak hidup lagi.

Malah sering kejadian adat yang telah mati dihidupkan pula atau sebaliknya adat yang hidup dimatikan, bertentangan dengan kemauan penduduk desa, hanya oleh karena kepentingan penjajah menghendaki itu.

Perkembangan selanjutnya, dibawah rezim Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 diganti dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Dalam Penjelasan Umum undang-undang ini (Ad. 2) dinyatakan:

Hal-hal yang disinggung ini tidak dapat kita lepaskan dari pengertian setempat mengenai kesatuan-kesatuan masyarakat yang paling bawah, yang kita namakan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum. Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum ini bentuknya bermacam-macam di seluruh Indonesia ini. Di Jawa namanya Desa dan Desa itu adalah satu macam kesatuan masyarakat hukum yang tidak lagi terbagi dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum bawahan dan tidak pula Desa itu merupakan bahagian dari lain kesatuan masyarakat hukum menurut adat, sehingga desa itu berdiri tunggal, mempunyai daerah sendiri, rakyat sendiri, penguasa sendiri dan mungkin pula harta benda sendiri, sedangkan hukum-adat yang berlaku di dalamnya adalah sesungguhnya "homogeen". Lain coraknya umpamanya di Tapanuli, di mana kesatuan masyarakat hukum-adat itu mempunyai bentuk yang bertingkat, umpamanya Kuria sebagai kesatuan masyarakat hukum-adat yang tertinggi dan merupakan satu daerah, mempunyai di dalamnya sejumlah kesatuan-kesatuan masyarakat hukum-adat bawahannya, yang dinamakannya Huta, yang masing-masing mempunyai sekumpulan rakyat sendiri, satu penguasa sendiri dan mungkin pula mempunyai daerah sendiri sebagai bahagian dalam daerah kuria itu, sehingga adapula huta-huta yang tidak mempunyai lingkungan daerah itu dalam daerah kurianya sendiri.

Meskipun demikian juga dalam setiap kesatuan kuria itu berlaku hukum adat yang "homogeen". Contoh yang lain ialah Minangkabau, dimana didapati kesatuan masyarakat hukum tertinggi yakni Nagari, yang masing-masing mempunyai daerah sendiri sedangkan dalam daerah itu dijumpai sejumlah suku-asal, yang masing-masing suku merupakan pula satu kesatuan masyarakat hukum-adat yang terbawah. Juga kesatuan masyarakat hukumnya yang bernama Suku itu mungkin mempunyai daerah sendiri atau tidak dalam lingkungan nagari itu. Syarat belakangan ini, mempunyai daerah sendiri adalah syarat mutlak dalam sistim otonomi, yang memberikan kekuasaan kepada sekumpulan rakyat yang berdiam dalam suatu lingkungan yang nyata.

Dengan demikian nyatalah bahwa bagi tempat-tempat yang serupa ini sulit kita untuk menciptakan satu kesatuan otonomi dalam pengertian tingkat yang ketiga (III), sehingga kemungkinannya atau hanya memberikan otonomi itu secara tindakan baru kepada kabupaten di bawah Propinsi, atau menciptakan dengan cara bikin-bikinan wilayah administratief dalam kabupaten itu untuk kemudian dijadikan kesatuan yang berotonomi. Dalam prinsipnya sangatlah tidak bijaksana mengadakan kesatuan otonomi secara bikin-bikinan saja dengan tidak berdasarkan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang ada. Prinsip yang kedua ialah bahwa sesuatu daerah yang akan kita berikan otonomi itu hendaklah sebanyak mungkin merupakan suatu masyarakat yang sungguh mempunyai faktor-faktor pengikut kesatuannya.

Sebab itulah maka hendaknya di mana menurut keadaan masyarakat belum dapat diadakan tiga (3) tingkat, untuk sementara waktu dibentuk 2 tingkat dahulu. Berhubung dengan hal-hal adanya atau tidak adanya kesatuan-kesatuan masyarakat hukum-adat sebagai dasar bekerja untuk menyusun tingkat otonomi itu, hendaklah pula kita insyafi bahwa urusan otonomi tidak "congruent" dengan urusan hukum-adat, sehingga manakala sesuatu kesatuan masyarakat hukum-adat dijadikan menjadi satu daerah otonomi atau dimasukkan ke dalam suatu daerah otonomi, maka hal itu tidaklah berarti, bahwa tugas-tugas kepala-kepala adat dengan sendirinya telah terhapus. Yang mungkin terhapus hanya segi-segi hukum-adat yang bercorak ketata-negaraan, manakala hanya satu kesatuan masyarakat hukum-adat itu dijadikan daerah otonomi, sekedar corak yang dimaksud bersepadanan dengan kekuasaan ketata-negaraan yang tersimpul dalam pengertian otonomi itu.

Kesanggupan melihat perbedaan itu, yaitu perbedaan antara otonomi dan kekuasaan adat adalah suatu syarat penting untuk menjalin hidupnya otonomi itu secara yang memuaskan, keseluruhan rakyat yang mau tak mau masih terkungkung dalam sistim hukum-adat itu.

Dalam perkembangan selanjutnya yang dimaksud dengan pemerintah daerah tingkat III berubah dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini menyebutkan bahwa yang disebut sebagai Daerah Tingkat III adalah Kecamatan/Kotapraja. Namun karena persoalan desa tidak diatur di dalamnya, sebagai pendamping bagi Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tersebut dikeluarkan pula Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja, yang mengatur, bahwa desapraja tidak dianggap sebagai tingkat pemerintahan daerah sebagaimana halnya Provinsi, Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan, karena dianggap memiliki perbedaan mendasar, yakni adanya otonomi asli yang sudah hidup secara turun temurun dan menyatu dalam kehidupan masyarakat sebelum terbentuknya Negara. Namun sayangnya, karena alasan politik tertentu dari penguasa pada saat itu (rezim Orde Baru), keberlakuan Undang-undang tentang Desapraja ini ditangguhkan, yang menyebabkan selama lebih kurang 14 tahun sampai munculnya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang desa menjadi "kosong". Dalam situasi kekosongan hukum tersebut, praktis hanya hukum adatlah saat itu yang menjadi pegangan bagi kesatuan masyarakat yang hidup di desa, mirip seperti sebelum berkuasanya pemerintah kolonial di bumi Nusantara. Seperti alasan dipisahkannya pengaturan tentang desa dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 dari pengaturan tentang Pemerintah Daerah dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa juga dimaksudkan sebagai pendamping bagi UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dalam mengatur pengelolaan wilayah masyarakat terkecil secara formal. Akan tetapi, meskipun dalam perumusannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 mengakui dan menghormati keberadaan hukum adat, terdapat banyak aturan dalam undang-undang ini yang telah membuat penyeragaman dalam berbagai hal, mulai dari penyebutan istilah-istilah yang digunakan hingga sistem pengelolaannya. Oleh karenanya, meskipun bertahan hingga 20 tahun, undang-undang ini dianggap tidak konstitusional oleh masyarakat desa, terutama bagi mereka yang tinggal di luar pulau Jawa, karena telah menyeragamkan bentuk dan peristilahan desa di seluruh Indonesia. Demi tujuan penyeragaman tersebut bahkan Pemerintah saat itu melakukan regrouping terhadap beberapa desa. Sebagaimana pernah dinyatakan oleh salah seorang tokoh adat di Kabupaten Sanggau di bawah ini:

Dahulu ketika diberlakukan UU No. 5 Tahun 1979, banyak kampung-kampung yang diregrouping menjadi desa. Hal ini untuk memenuhi syarat menjadi desa. Akhirnya banyak kampung yang letaknya berjauhan menjadi satu desa dan untuk ke desa pengembangan (pusat desa) warga masyarakat harus menempuh jarak berjam-jam hanya untuk mengurus surat ijin dari kepala desa.

Sebagian kalangan, ada yang menilai bahwa undang-undang tersebut merupakan upaya "jawanisasi". Ada pula yang mensinyalir, bahwa yang menjadi alasan utama Pemerintah pada waktu itu dalam melakukan penyeragaman tersebut adalah demi terkendalinya persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga ke tingkat pedesaan dimana hidup para petani yang menjadi basis kekuatan komunisme saat itu, yang dianggap sebagai ancaman utama bagi tegaknya negara yang berdasarkan asas ketuhanan (sila pertama Pancasila). Dalam perkembangannya, penyeragaman pengelolaan desa tersebut telah banyak mematikan kehidupan demokrasi di tingkat desa. Dengan penyeragaman, Orde Baru sebagai penguasa waktu itu telah menjadikan desa sebagai "instrumen" untuk mempertahankan tirani kekuasaan.

Selanjutnya dengan bergulirnya era reformasi pada tahun 1998 yang meruntuhkan kekuasaan rezim Orde Baru, lahirlah suatu undang-undang baru di bidang pemerintahan daerah yang isinya diupayakan dibuat sesuai dengan nilai-nilai demokrasi yang menjadi tuntutan utama dari Gerakan Reformasi, yakni Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian disempurnakan lagi dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku hingga saat ini. Namun demikian, meskipun kedua undang-undang itu sudah mengatur tentang desa dalam satu bab khusus, ternyata hal ini belum cukup "memuaskan" masyarakat desa itu sendiri.


 

Sebenarnya, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 telah memberikan pengakuan terhadap keragaman dan keunikan desa sebagai self-governing community. Hal ini terlihat dari definisi desa yang dimuat dalam Pasal 1 undang-undang ini, yaitu:

Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.

ada UU ini, tidak ada lagi penyeragaman penggunaan istilah. Penggunaan istilah dalam bahasa daerah mendapat ruang kebebasan. Kemudian ada beberapa ketentuan lain yang juga memberikan kebebasan dalam sistem penataan dan pengelolaan desa. Secara normatif, UU No. 22 Tahun 1999 sudah tidak lagi menempatkan desa sebagai bentuk pemerintahan terendah di bawah kecamatan semata, melainkan juga sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai hak asal-usul dan adat-sitiadat setempat. Implikasinya adalah, desa berhak membentuk regulasi desa sendiri untuk mengelola kehidupan di desa. Dengan demikian, undang-undang ini diharapkan dapat membangkitkan wacana, inisiatif, dan eksperimen otonomi desa, sekaligus mendorong bangkitnya identitas lokal daerah.

Meskipun demikian, UU No. 22 Tahun 1999 bukannya tanpa kelemahan. Beberapa kesalahan dapat dilihat dalam perumusan judul bagian dan definisi. Dalam undang-undang ini, desa didefinisikan sebagai "kesatuan masyarakat hukum ... berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat" padahal dalam kenyataannya banyak sekali desa dengan masyarakat yang memiliki dari lebih dari satu kesatuan masyarakat hukum adat (seperti di Maluku dengan orang Ambon dan orang Buton), dan banyak juga desa yang tidak lagi mengatur dan mengurus rumah tangganya hanya berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat semata, serta juga ada wilayah kesatuan masyarakat hukum adat dengan batasan berbeda dengan batasan wilayah desa.

Pada undang-undang ini, tidak tergambarkan bahwa desa juga dapat menyelenggarakan urusan pemerintahan (urusan pelayanan dan pembangunan) yang sesuai dengan keinginan masyarakat desa guna meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat desa dengan memperhatikan faktor-faktor perlindungan/kelestarian lingkungan hidup yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat desa di masa depan. Sebenarnya ada satu ketentuan dalam undang-undang ini yang mencoba memberikan solusi terhadap permasalahan ini, yakni Pasal 99 huruf b , namun masih belum cukup untuk memberikan pemecahan. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan, bahwa desa memiliki kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah. Dari perumusan ini memang bisa saja diartikan bahwa pendelegasian urusan pemerintahan terjadi secara "otomatis", sepanjang belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah. Akan tetapi di sisi lain dapat pula berarti bahwa apabila Daerah dan Pemerintah telah melaksanakannya, maka urusan itupun dengan sendirinya tidak dapat lagi dilaksanakan oleh desa. Hal ini tidak fair bagi desa, karena dalam prakteknya akan menyulitkan desa dimana desa tidak memiliki bargaining position untuk meminta, menolak atau mempertahankan urusan tersebut karena alasan kondisi dan tingkat kemampuan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun finansial.

Untuk memecahkan persoalan di atas, seharusnya ada prinsip yang jelas untuk dijadikan dasar atau pegangan bagi desa untuk bisa meminta, menolak ataupun mempertahankan urusan-urusan pemerintahan, yang sebenarnya merupakan urusan pemerintah daerah dan/atau Pemerintah. Desa harus bisa menjadi subyek bagi urusan-urusan yang akan dikelolanya, bukan hanya menjadi obyek. Prinsip tersebut harus dapat menempatkan posisi desa sejajar dengan pemerintah (Pemerintah dan/atau pemerintah daerah), bukan sub-ordinatif, sehingga hubungan yang terbentuk adalah hubungan yang bersifat kemitraan, dimana tidak ada unsur pemaksaan dari satu pihak terhadap pihak lainnya. Dengan prinsip ini desa juga dapat mempertahankan urusan pelayanan dan pembangunan yang merupakan urusan asal-usulnya. Yang harus diciptakan dengan prinsip ini adalah pemerintah daerah dan/atau Pemerintah hanya dapat mendelegasikan kewenangan atau urusannya kepada desa setelah mendapat persetujuan dari masyarakat desa melalui penyelenggara desa, dan demikian pula sebaliknya pihak desa baru dapat melaksanakan urusan pemerintahan yang mereka anggap sebagai "otonomi asli" milik desa setelah memperoleh persetujuan dari pemerintah. Kedua hal tersebut disepakati oleh kedua belah pihak dengan memperhatikan faktor kehendak dan kesiapan/kemampuan desa . Memang, setelah berlakunya Undang-Undang No.22 tahun 1999, ada peraturan Pemerintah (PP) yang lahir sebagai peraturan pelaksana, yakni PP No. 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Namun PP ini juga tidak menyebutkan secara jelas prinsip yang dimaksud dalam uraian di atas.

Kelemahan lainnya yang dapat dicatat adalah sebagaimana dirumuskan pada definisi desa dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 adalah bahwa desa hanya terdapat di kabupaten. Seharusnya sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang dapat mengatur dan mengurus dirinya sendiri, desa tidak hanya terdapat di wilayah kabupaten, sehingga di dalam wilayah kota bisa saja terdapat desa, meskipun disuatu kawasan tertentu telah ada satuan wilayah kerja pemerintah daerah (dalam hal ini pemerintah kota) dibawah kecamatan, yang disebut kelurahan. Hal ini seharusnya bisa terjadi karena desa sebenarnya bukanlah wilayah kerja pemerintah kota. Dasar pemikiran ini terkait pula dengan pemikiran bahwa pemerintah desa sebenarnya bukanlah pemerintah dalam arti yang sebenarnya sebagaimana yang dikenal dalam istilah Pemerintah (Pusat) ataupun pemerintah daerah. Konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 yang berlaku saat ini tidak menyebutkan bahwa pemerintah desa adalah pemerintah. Yang disebut "pemerintah" dalam Pasal 18 UUD NRI 1945 hanyalah Pemerintah (Pusat) dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota. Dengan demikian, pemerintah desa hanyalah merupakan organisasi yang dibentuk oleh masyarakat desa untuk mengurus urusan umum (administrasi publik) yang menyangkut kepentingan masyarakat desa dan individu yang datang/berada dan/atau mempunyai kepentingan di desa. Dengan demikian, seyogyanya dalam implementasinya, di dalam wilayah kecamatan bisa saja terdapat kelurahan sekaligus desa. Sebagai perbandingan, dapat dilihat keadaan yang ada di Bali, dimana di dalam wilayah kecamatan bisa terdapat desa administrasi sekaligus desa adat. Desa administrasi mungkin bisa dianalogikan sebagai kelurahan di kota, tetapi perbedaannya desa administrasi di Bali adalah organisasi yang dibentuk dan diselenggarakan secara mandiri oleh masyarakat dan bisa terdapat dimana saja (kota dan kabupaten), sedangkan kelurahan adalah bagian dari dan dibentuk oleh organisasi pemerintah daerah dan hanya terdapat di wilayah perkotaan. Disamping itu, dengan menetapkan bahwa desa hanya terdapat di kabupaten, maka banyak desa-desa yang dikota secara dipaksakan diubah menjadi kelurahan, tanpa memperhatikan aspirasi dari masyarakat desa.

Adanya kelemahan pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 telah mendorong pemerintah untuk merevisinya dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sangat disayangkan, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 inipun tidak terlalu menyelesaikan permasalahan tentang desa yang ada dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tersebut, karena desain desentralisasi yang dimiliki Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tidak jauh berbeda dengan yang dimiliki Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Memang sudah ada sedikit perbaikan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.72 tahun 2005 tentang Desa yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Pasal 9 ayat (1) PP itu menyebutkan:

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penyerahan urusan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa ... diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan Menteri.

Namun ketentuan tersebut belum memberikan prinsip dasar tentang "kesetaraan" yang dimaksud dalam uraian di atas, yang seharusnya diatur dalam suatu undang-undang. Selanjutnya, Pasal 10 ayat (3) PP No.72 tahun 2005 menyatakan: "Desa berhak menolak melaksanakan tugas pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak disertai dengan pembiayaan, prasarana dan sarana, serta sumber daya manusia." Namun sekali lagi, ketentuan ini juga belum dianggap cukup untuk memberikan prinsip dasar tentang prinsip kesetaraan, karena hanya memberikan aturan mengenai power untuk melakukan penolakan, belum untuk meminta dan mempertahankan urusan.

Satu kelemahan lain yang cukup signifikan dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 adalah ketentuan Pasal 200 ayat (3) yang menyebutkan:

Desa di kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa bersama badan permusyawaratan desa yang ditetapkan dengan Perda.

Meskipun ketentuan ini telah mengadopsi perhatian terhadap usul dan prakarsa pemerintah desa bersama badan permusyawaratan desa (Bamusdes), namun pengaturan bahwa desa dapat diubah menjadi kelurahan adalah tidak tepat, dan tidak ada penjelasan mengapa kelurahan diasumsikan "lebih sesuai". Keresahan lainnya adalah adanya ketentuan yang cenderung meningkatkan kontrol pemerintah terhadap desa, yaitu ketentuan Pasal 202 ayat (3) yang menetapkan bahwa seorang sekretaris desa diisi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ketentuan ini dapat menyebabkan "ketidakpatuhan" sekretaris desa kepada kepala desa sebagai atasannya, akan tetapi ia hanya akan patuh kepada kekuasaan yang mengatur dan bertanggungjawab terhadap dirinya sebagai PNS, yang jelas-jelas bukanlah kepala desa tapi pejabat di jajaran perangkat pemerintah daerah.

Ketidak puasan masyarakat desa akan peraturan perundang-undangan yang ada, kini telah berujung pada tuntutan bahwa desa seharusnya tidak diatur satu paket dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah, akan tetapi hendaknya diatur dalam undang-undang tersendiri yang khusus mengatur tentang Desa. Disamping alasan yang telah diuraikan di atas, berbagai alasan lain juga melatarbelakangi tuntutan itu, seperti: dianggap bahwa desa masih kurang diperhatikan oleh pemerintah; pemerintahan desa tidak sama hakikatnya dengan pemerintah daerah, yang otonominya diberikan secara total oleh Pemerintah Pusat; tidak jelasnya kedudukan desa dalam sistem pemerintahan negara; serta sangat kurangnya pengalokasian anggaran negara bagi penyelenggaraan pelayanan dan pembangunan di desa.

Dengan fakta-fakta di atas yang dianggap menjadi alasan-alasan utama, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) saat ini mencoba mencarikan jalan keluar bagi permasalahan-permasalahan tersebut dengan merumuskan suatu rancangan undang-undang (RUU) tersendiri tentang desa. Adapun pokok-pokok pemikiran yang ingin dimuat dalam RUU tersebut adalah hal-hal yang menyangkut:

Ketentuan umum, Keberadaan desa dan pembentukan desa, Urusan desa dan Hubungan desa dengan Negara dan daerah, Pendanaan untuk desa,

Lembaga penyelenggara tata kelola desa, Pemilihan desa, Lembaga desa sebagai mitra pemerintah desa,

Peraturan desa, Kinerja dan keuangan , Kerjasama, Penyelesaian perselisihan,

Pengawasan dan pembinaan,

Sanksi, Ketentuan peralihan, dan

Ketentuan penutup.

Selanjutnya naskah akademik ini akan menguraikan secara terperinci hal-hal yang akan diatur dalam pokok-pokok pikiran tersebut, yang nantinya akan dituangkan sebagai bab-bab dalam Rancangan Undang-Undang tentang Desa.

Banyak sekali desa-desa di Jawa yang sejak dulu selalu menghadirkan kekerasan dan permainan politik uang ketika menggelar Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Permainan politik uang di desa, sebagaimana di kabupaten dan provinsi, menjadi isu yang sangat keras dan cepat, tetapi juga sangat cepat menguap dan dilupakan banyak orang. Praktik-praktik kekerasan cepat sekali berkobar dan juga cepat sekali dirampungkan oleh aparat keamanan setelah menelan korban tidak sedikit. Tetapi sejak dulu di desa tidak ada sebuah mekanisme dan proses politik yang dibangun dari prakarsa lokal untuk mencegah praktik-praktik kekerasan.

Proses perencanaan pembangunan desa masih berlangsung seperti dulu. Di atas kertas perencanaan berlangsung dari bawah (bottom up) yang kemudian dibawa naik ke kabupaten, tetapi praktiknya selalu terjadi manipulasi sehingga aspirasi dari bawah tidak menjadi preferensi bagi pembuatan keputusan di level kabupaten. Di tingkat desa sendiri, perencanaan pembangunan juga didominasi oleh elite desa atau lebih berpijak pada preferensi elite ketimbang aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

Gotong-royong tidak lagi secara otentik mencerminkan partisipasi dan solidaritas sosial masyarakat desa, melainkan sebagai bentuk mobilisasi (jika bukan paksaan) pemerintah desa terhadap warganya untuk mendukung program-program pembangunan yang sudah dirancang dari atas. Salah satu kasus yang menyolok adalah kebiasaan pemerintah supradesa dan pemerintah desa "meng-uang-kan" gotong-royong dan swadaya ke dalam penerimaan desa (APBDes). Padahal menurut asal-usulnya gotong-royong adalah bentuk modal sosial (social capital), bukan modal finansial (financial capital) sebagaimana telah dimanipulasi oleh pemerintah. Di zaman Orde Baru, berbagai program departemen juga mengatasnamakan gotong-royong sebagai bentuk swadaya masyarakat desa. Banyak proyek dari atas dengan jumlah pendanaan yang kecil, kemudian dengan bantuan gotong-royong masyarakat dapat menghasilkan pembangunan fisik yang luar biasa. Pada hampir semua proyek pembangunan prasarana fisik kontribusi gotong royong selalu jauh lebih besar ketimbang sumbangan dana dari pusat. Sejak Orde Baru hingga sekarang, laporan mengenai banyaknya hasil pembangunan fisik yang ditopang swadaya masyarakat lewat gotong royong sering diklaim sebagai keberhasilan pemerintah.

Desentralisasi adalah sebuah kebijakan dari atas yang tidak sempurna baik dari sisi desain maupun praktiknya. Desentralisasi dan otonomi daerah lebih difokuskan pada kabupaten/kota, sehingga desa masih tetap dipandang sebelah mata dan belum memperoleh otonomi yang lebih leluasa. Desa masih berada di bawah cengkeraman kabupaten secara hirarkhis. Para pejabat kabupaten umumnya memandang bahwa otonomi berhenti di tangan kabupaten, serta menjadikan desa sebagai objek kebijakan dan regulasi kabupaten. Dalam praktiknya tidak sedikit Perda Kabupaten tentang pemerintahan desa yang sebenarnya tidak relevan dengan konteks kebutuhan desa dan dari sisi proses tidak melibatkan partisipasi desa. Karena itu tidak mengherankan kalau kerapkali muncul kegelisahan dan bahkan resistensi desa (terutama dari perangkat desa) terhadap regulasi dari atas.

Desentralisasi politik yang terbatas juga diikuti dengan pembatasan desentralisasi fiskal ke desa. Dari sisi hubungan keuangan, tidak ada kejelasan dan ketegasan formula perimbangan keuangan antara pusat, daerah dan desa. Desa tidak memperoleh transfer keuangan yang jelas, sebagaimana dana pusat yang di-daerah-kan melalui Dana Alokasi Umum. Sebagian dana kabupaten memang di-desa-kan tetapi tidak dibingkai melalui kerangka regulasi yang menjamin kepastian dan keberlanjutan, melainkan hanya tergantung pada kebaikan hati (benevolent) sang Bupati dan DPRD.

Kepala desa (petinggi desa, lurah, kuwu, dll) kini mengalami disorientasi kekuasaan: dari atas ditekan dengan instruksi oleh kabupaten (melalui kecamatan atau langsung), dari samping digencet oleh BPD dan dari bawah dituntut oleh masyarakat. Di banyak tempat kehadiran BPD dianggap menjadi ancaman bagi kepala desa, dan sekaligus memunculkan ketegangan antara kepala desa dengan BPD. Di desa-desa yang telah dimasuki fasilitator dari luar (NGO atau perguruan tinggi), ketegangan itu bisa dicairkan antara lain dengan cara dialog yang intensif dan membuat code of conduct di antara kepala desa dan BPD. Tetapi desa-desa yang tidak dimasuki pihak ketiga masih sulit untuk mendamaikan ketegangan Kades-BPD karena belum mempunyai mekanisme dan proses manajemen konflik yang dibangun berdasarkan prakarsa lokal. Pembelakan yang diberikan kabupaten maupun kecamatan juga belum mampu mencairkan ketegangan itu.

Kapasitas dan kinerja perangkat desa masih berjalan apa adanya (taken for granted) sesuai dengan ketentuan administratif. Mereka umumnya cukup puas karena telah bisa memberikan pelayanan prima nonstop 24 jam. Mungkin masih sedikit ditemukan kepala desa dan perangkatnya yang bekerja secara inovatif dan responsif dengan dituntun visi-misi besar.

Desa itu menunjuk wilayah, yang didiami oleh masyarakat, yang di dalamnya terdapat sumber-sumber produksi, yang didalamnya juga memiliki tata kelola (governance), diikat oleh aturan main yang disepakati bersama oleh masyarakatnya dan ada pengaturan untuk menegakkan aturan, yang sering disebut dengan istilah pemerintahan. Dalam konteks ini, dulu desa itu adalah negara. Sebelum negara monarki atau sekarang bergeser menjadi negara kesatuan yang mengintegrasikan berbagai wilayah itu ada, desa sudah ada lebih dulu. Oleh sebab itu desa sudah sejak lahirnya merupakan wilayah yang bersifat otonom. Misalnya pada jaman kerajaan, pemerintahan pusat (kerajaan) tidak banyak campurtangan dalam pengaturan desa, namun hal penting yang hendak diperoleh dari proses pengintegrasian ini adalah pusat mendapatkan upeti dari wujud kesetiaan masyarakat yang terintegrasi terhadap negara.

Dalam proses panjang, ketika pembangunan itu dilakukan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, kondisinya menjadi berbalik, desa menjadi bagian dari pemerintahan pusat dengan posisi pinggiran dan kehilangan otonomi. Selanjutnya desa menjadi obyek pembangunan semua lembaga pemerintahan di atasnya sehingga tidak memiliki kewenangan dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Pusat menjadi sangat kokoh, melakukan sentralisasi, mendominasi pengaturan segala macam sumber yang terletak di desa dan lebih dari itu, yakni mengambil alih pemilikan desa menjadi pemilikan pusat. Salah satu contoh, UU pertambangan bernuansa pusat dari pada daerah.

Desa tidak hanya termarjinalisasi oleh pusat melainkan juga oleh determinasi kepentingan negara-negara industri yang telah dan sedang memperluas pasar barang industrialnya. Posisi negara menjadi sulit dipertanggungjawabkan, ketika negara melakukan proses integrasi nasional maka pertanyaannya, demi kepentingan siapa negara melakukan pengintegrasian lokal ke dalam nasional? Pengintegrasian lokal (desa) untuk kepentingan kesatuan bangsa atau untuk kepentingan perluasan pasarnya negara maju yang menyediakan ruang untuk pasar global? Pertanyaan ini sungguh merisaukan sebab posisi desa sekarang ini sudah menjadi bagian wilayah yang didominasi oleh kepentingan perluasan pasar global. Perjuangan macam apa yang harus dilakukan agar desa berkembang, berdaulat dan memiliki hak-hak yang mampu menjamin kesejahteraan masyarakatnya?

Pembangunan desa yang telah dilakukan selama 40 tahun tidak banyak merubah wajah desa menjadi makmur. Sistem komersialisasi pertanian tanaman pangan memang mampu meningkatkan jumlah produksi per areal lahan pertanian pangan, namun peningkatan jumlah produksi tidak diikuti oleh pertambahan jumlah pendapatan perkapita masyarakat, bahkan jumlah biaya produksi dalam sistem pertanian pangan komersial menjadi meningkat. Saprodi seperti pupuk, pestisida dan bibit harus dibeli, yang harganya setiap tahun selalu meningkat. Persoalan lain, kondisi kerusakan tanah akibat pupuk kimia juga semakin tinggi dan ketergantungan tanah terhadap pupuk kimia juga semakin tinggi pula. Desa, yang dulunya, kaya akan teknologi dan jenis benih padi sekarang banyak hilang lantaran diganti dengan benih padi produksi pabrik. Sumber-sumber ekonomi produksi desa, yang dulu dapat dikelola oleh lembaga desa, kini dikuasai oleh para industriawan terutama berkaitan dengan hasil tambang yang berada di wilayah desa. Desa yang seharusnya kaya kini menjadi miskin, baik miskin pengetahuan dan teknologi lokal yang semula dimiliki, hak dan kedaulatan untuk menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan kebutuhan yang ingin dicapainya. Pembangunan membawa degradasi lingkungan dan menuju proses pemiskinan justru karena miskinnya konsep pembangunan desa.

Tesis masa lalu, kuatnya pemerintah pusat sebagai actor pengintegrasian lokal, secara otomatis akan menjawab kuatnya perkembangan lokal. Sama halnya, kuatnya pertumbuhan ekonomi nasional diasumsikan akan menjawab perkembangan kesejahteraan lokal melalui proses trickledown effect. Asumsi ini gagal menjelaskan perkembangan masyarakat desa. Keadaan yang berlangsung sebaliknya, yakni kuatnya pusat justru melakukan apropriasi atau pengabilalihan lokal oleh pusat. Pikiran paradigmatic ini garus doitinggalkan dan diganti sebaliknya, kuatnya pertumbuhan dan perkembangan lokal (desa) akan menjadi ciri pertumbuhan dan perkembangan nasional. Kesulitan terbesar untuk melakukan pembaharuan ini karena pusat memiliki kepentingan untuk menjadikan desa sebagai obyeknya dalam proses pembangunan. Watak aparatur negara tidak berubah bahkan masuk ke dalam ruang dimana mereka miskin konsep pembangunan dan hanya menjalankan pertanggungjawaban keuangan proyek, yang akan merasa selesai kalau keuangannya tidak dipersoalkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Perilaku ini sulit dibendung dan dipatahkan, kalau ada perubahan hanya terbatas pada wacana akan tetapi perilakunya tidak banyak mengalami perubahan. Keadaan ini semua dapat terjadi karena desa tidak memiliki jamanan perlindungan dari siapa pun yang hendak memiliki kepentingan terhadap desa seperti birokrasi pemerintahan pusat yang dilakukan oleh departemen tekni, para pebisnis dan kemungkinan besar lembaga swadaya masyarakat, meskipun tidak semua Lembaga Swadatya Masyarakat itu sama. Ini lah sebabnya sehingga desa kehilangan kedaulatan dan kemandirian untuk mengatur dan mengkreasikan sumber dan potensi yang tersedia sesuai dengan kepentingannya. Desa justru mengabdi kepada kepentingan lain karena merekalah yang memiliki dan mengimplementasikan program pembangunan pemerintah pusat

Kalau cara pandang tentang pembangunan itu diubah, yakni bukan memperkuat nasional akan tetapi memperkuat lokal sebagai cirri perkembangan nasional maka ini membutuhkan jaminan. Satu-satunya jaminan untuk mengembalikan kedaulatan desa adalah undang-undang. Ini lah perlunya UU Desa. UU desa tidak hanya sekedar mengatur tentang pemerintahan desa akan tetapi mengatur secara keseluruhan tentang hak dan kewajiban desa dalam penyelenggaraan dan pengaturan rumah tangganya sendiri. Dengan demikian UU ini juga tidak dapat dijadikan sebagai alat oleh para elit desa, yang semakin lama ada kecenderungan berpikir parsial untuk berpikir tentang perutnya sendiri dan bukan untuk kepentingan kemaslahatan umat.

Jika pikiran-pikiran parsial yang berkembang untuk membela kepentingannya sendiri seperti para perangkat tidak berfikir secara keseluruhan tentang desa dan hanya berpikir parsial seperti memperjuangkan kelompok perangkatnya sendiri maka perjuangan untuk meraih kedaulatan desa akan mengalami kegagalan. Oleh sebab itu lahirnya undang-undang yang memberikan ruang kedaulatan serta hak kewajiban desa menjadi perlu dikawal dengan agenda advokasi guna mencapai kepentingan bersama yang lebih besar. Undang undang dibuat untuk mengatur hak dan kewajiban dan bukan sebagai alatnya elit untuk membela kepentingannya sendiri. Jika tidak, Desa setelah lepas dari "mulut buaya" lalu masuk ke "mulut singa". Artinya dari marjinalisasi satu pindah ke marjinalisasi yang lain. Sekali lagi, UU Desa bukan mengatur kepentingan elit akan tetapi mengatur agar desa memiliki kedaulatan dan mendorong kemakmuran masyarakatnya (community welfare).

Pembangunan desa yang berkelanjutan merupakan pembangunandesa yang tidak merusak lingkungan, memberikan hak kedaulatan untuk mengatur dirinya sendiri. Pembangunan desa yang berkelanjutan bukan berpijak kepada konsep model produksi kapitalis dimana desa hanya sebagai ajang pasarnya alat-alat pertanian yang diproduksi oleh industri alat pertanian yang membebani masyarakat. Jika keliru dalam memaknai terbentuknya UU Desa maka desa akan masuk perangkat keberlanjutanya pasar global dan bukan keberlanjutan kedaulatannya sendiri.

Oleh sebab itu dasar filosofi memberikan pentingnya pengaturan desa melalui UU menjadi sangat vital, yakni UU Desa itu diwujudkan untuk membela kepentingan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Jika hal ini tidak dipahami maknanya maka pembangunan desa akan memasuki ruang yang kurang lebih sama dengan proses pembangunan masa lalu, dimana desa sudah diserahkan kepada kepentingan global, sedang negara sebagai agen atau kepanjangtangan kepentingan model produksi kapilaisme global yang wataknya neoliberal. Pasar bebas menjadi alatnya untuk menguasai sumber-sumber produksi yang hampir semuanya terletak di pedesaan. Paha ini sangat anti terhadap perlindungan negara, kalau perlu negara menjadi alatnya bisnis. Fungsi negara bukan mengatur bisnis akan tetapi negara diatur bahkan alatnya bisnis. Kegagalan negara membangun bangsa karena negara tidak mampu mengatur para pebisnis.

UU Desa harus dipirkan untuk memberikan kedaulatan desa dan bukan sebagai alat kekasaan pusat untuk melakukan pengambil alihan pusat terhadap daerah atau unit terkecil masyarakat, yakni desa. Pengaturan ini dilakukan guna mendorong proses pembangumam desa yang berkelanjutan dan kelestarian lingkungan.

Tesis :

Kuatnya pusat akan merembes atau menetes, baik secara ekonomi, politik maupun budaya, ke daerah sampai dengan desa (pikiran ini hingga sekarang masih berlangsung demikian perilaku birokratnya). Desa yang kuat, akan menjadi ciri pertumbuhan nasional yang kuat dan kokoh.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar