Rabu, 01 Juni 2011

Menanggulangi Kemiskinan Desa

Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan. Dalam negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life (James. C.Scott, 1981), mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh tani desa bekerja sepanjang hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat sedikit.

Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat untuk berinovasi; (10) Hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan; dan (11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik.

Kemiskinan menjadi alasan yang sempurna rendahnya Human Development Index (HDI), Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Secara menyeluruh kualitas manusia Indonesia relatif masih sangat rendah, dibandingkan dengan kualitas manusia di negara-negara lain di dunia. Berdasarkan Human Development Report 2004 yang menggunakan data tahun 2002, angka Human Development Index (HDI) Indonesia adalah 0,692. Angka indeks tersebut merupakan komposit dari angka harapan hidup saat lahir sebesar 66,6 tahun, angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 87,9 persen, kombinasi angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi sebesar 65 persen, dan Pendapatan Domestik Bruto per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar US$ 3.230. HDI Indonesia hanya menempati urutan ke-111 dari 177 negara (Kompas, 2004).

Pendek kata, kemiskinan merupakan persoalan yang maha kompleks dan kronis. Karena sangat kompleks dan kronis, maka cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan, dan diperlukan strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer.


 

Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan.

Dari pendekatan-pendekatan tersebut, indikator utama kemiskinan dapat dilihat dari; (1) kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak layak; (2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif; (3) kuranya kemampuan membaca dan menulis; (4) kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup; (5) kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi; (6) ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah; (7) akses terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas; (8) dan sebagainya.

Indikator-indikator tersbut dipertegas dengan rumusan yang konkrit yang dibuat oleh BAPPENAS berikut ini;

¨ terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya mengkonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004);

¨ terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mandapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi; jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di PUSKESMAS. Demikian juga persalinan oleh tenaga kesehatan pada penduduk miskin, hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen (2001) penduduk, dan hanya sebagian kecil di antaranya penduduk miskin;

¨ terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung;

¨ terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga;

¨ terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai;

¨ terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air;

¨ lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluargannya untuk bekerja di atas tanah pertanian;

¨ memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan;

¨ lemahnya jaminan rasa aman. Data yang dihimpun UNSFIR menggambarkan bahwa dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan korban 10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun jumlah pengungsi cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001 diperkirakan masih ada lebih dari 850.000 pengungsi di berbagai daerah konflik;

¨ lemahnya partisipasi. Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka;

¨ besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. Menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga miskin di perkotaan ratarata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga miskin di perdesaan adalah 4,8 orang.

Dari berbagai definisi tersebut di atas, maka indikator utama kemiiskinan adalah; (1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan; (3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan; (4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah; (6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi; (7) terbatasnya akses terhadap air bersih; (8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam; (10) lemahnya jaminan rasa aman; (11) lemahnya partisipasi; (12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga; (13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.

Kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan sangat sederhana, karena tidak hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan material, tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan manusia yang lain. Karenanya, kemiskinan hanya dapat ditanggulangi apabila dimensi-dimensi lain itu diperhitungkan. Menurut Bank Dunia (2003), penyebab dasar kemiskinan adalah: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (3) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.

Indikator utama kemiskinan menurut Bank Dunia adalah kepemilikan tanah dan modal yang terbatas, terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan, pembangunan yang bias kota, perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat, perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi, rendahnya produktivitas, budaya hidup yang jelek, tata pemerintahan yang buruk, dan pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.

Kemisiknan Desa

Desa hingga saat ini tetap menjadi kantong utama kemiskinan. Pada tahun 1998 dari 49,5 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia sekitar 60%-nya (29,7 juta jiwa) tinggal di daerah pedesaan. Pada tahun 1999, prosentase angka kemiskinan mengalami penurunan dari 49,5 juta jiwa menjadi 37,5 juta jiwa. Prosentase kemiskinan di daerah perkotaan mengalami penurunan, tetapi prosentase kemiskinan di daerah pedesaan justru mengalami peningkatan dari 60% tahun 1998 menjadi 67% tahun 1999 sebesar 25,1 juta jiwa, sementara di daerah perkotaan hanya mencapai 12,4 juta jiwa (Data BAPPENAS, 2004). Data tersebut diperkuat laporan Kompas tahun 2004 yang menyajikan bahwa lebih dari 60% penduduk miskin Indonesia tinggal di daerah pedesaan. Dengan demikian, desa hingga sekarang tetap menjadi kantong terbesar dari pusat kemiskinan. Tabel berikut menggambarkan prosentase perubahan dan jumlah penduduk miskin antara kota dengan desa dari tahun 1976 sampai dengan tahun 1999.

Data berikut menggambarkan bagaimana kemiskinan mempengaruhi tingkat pendidikan masyarakat pedesaan. Pada tahun 2003 rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 7,1 tahun dan proporsi penduduk berusia 10 tahun ke atas yang berpendidikan SLTP ke atas masih sekitar 36,2 persen. Angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas masih sebesar 10,12 persen. Pada saat yang sama Angka Partisipasi Sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun sudah mencapai 96,4 persen, namun APS penduduk usia 13-15 tahun baru mencapai 81,0 persen, dan APS penduduk usia 16-18 tahun baru mencapai 50,97 persen. Tantangan tersebut menjadi semakin berat dengan adanya disparitas tingkat pendidikan antarkelompok masyarakat yang masih cukup tinggi seperti antara penduduk kaya dan penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan, antara penduduk di perkotaan dan perdesaan, dan antardaerah (Bappenas, 2004).

Tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang rendah sangat mempengaruhi indeks kemiskinan di daerah pedesaan. Data yang disajikan BPS memperlihatkan bahwa 72,01% dari rumahtangga miskin di pedesaan dipimpin kepala rumahtangga yang tidak tamat SD, dan 24,32% dipimpin kepala rumahtangga yang berpendidikan SD. Ciri rumahtangga miskin yang erat kaitanya dengan tingkat pendidikan adalah sumber penghasilan. Pada tahun 1996, penghasilan utama dari 63,0% rumahtangga miskin bersumber dari pertanian, 6,4% dari kegiatan industri, 27,7% dari kegiatan jasa-jasa termasuk perdagangan. Dari sekitar 66.000 jumlah desa di Indonesia, tahun 1994 jumlah desa tertinggal mencapai 22.094 desa dan yang berada di daerah pedesaan sekitar 20.951 desa. Pada tahun 1999 jumlah desa tertinggal mencapai 16.566 dari sekitar 66.000 desa yang ada.

Menurut BPS, kantong penyebab kemiskinan desa, umumnya bersumber dari sektor pertanian yang disebabkan ketimpangan kepemilikan lahan pertanian. Kepemilikan lahan pertanian sampai dengan tahun 1993 mengalami penurunan 3,8% dari 18,3 juta ha. Di sisi lain, kesenjangan di sektor pertanian juga disebabkan ketidakmerataan investasi. Alokasi anggaran kredit yang terbatas juga menjadi penyebab daya injeksi sektor pertanian di pedesaan melempem. Tahun 1985 alokasi kredit untuk sektor pertanian mencapai 8% dari seluruh kredit perbankan, dan hanya naik 2% di tahun 2000 menjadi 19%.

Data-data mengenai penyebab kemiskinan desa seperti itu, bisa dikatakan sudah sangat lengkap dan bahkan memudahkan kita merumuskan indikator kemiskinan desa dan strategi penanggulanganya. Berdasarkan data di atas, penyebab utama kemiskinan desa adalah; (1) pengaruh faktor pendidikan yang rendah: (2) ketimpangan kepemilikan lahan dan modal pertanian; (3) ketidakmerataan investasi di sektor pertanian; (4) alokasi anggaran kredit yang terbatas; (4) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar; (5) kebijakan pembangunan perkotaan (mendorong orang desa ke kota); (6) pengelolaan ekonomi yang masih menggunakan cara tradisional; (7) rendahnya produktivitas dan pembentukan modal; (8) budaya menabung yang belum berkembang di kalangan masyarakat desa; (9) tata pemerintahan yang buruk (bad governance) yang umumnya masih berkembang di daerah pedesaan; (10) tidak adanya jaminan sosial untuk bertahan hidup dan untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat desa; (11) rendahnya jaminan kesehatan.

Masyrakat desa dapat dikatakan miskin jika salah satu indikator berikut ini terpenuhi seperti; (1) kurangnya kesempatan memperoleh pendidikan; (2) memiliki lahan dan modal pertanian yang terbatas; (3) tidak adanya kesempatan menikmati investasi di sektor pertanian; (4) kurangnya kesempatan memperoleh kredit usaha; (4) tidak terpenuhinya salah satu kebutuhan dasar (pangan, papan, perumahan); (5) berurbanisasi ke kota; (6) menggunakan cara-cara pertanian tradisional; (7) kurangnya produktivitas usaha; (8) tidak adanya tabungan; (9) kesehatan yang kurang terjamin; (10) tidak memiliki asuransi dan jaminan sosial; (11) terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pemerintahan desa; (12) tidak memiliki akses untuk memperoleh air bersih; (13) tidak adanya partisipasi dalam pengambilan keputusan publik.

Review Kebijakan Dan Program

Selama ini, kebijakan penanggulangan kemiskinan, didesain secara sentralistik oleh pemerintah pusat yang diwakili BAPPENAS. BAPPENAS merancang program penangulangan kemiskinan dengan dukungan alokasi dan distribusi anggaran dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan utang kepada Bank Dunia serta lembaga keuangan mmultinasional lainnya. Berkat alokasi anggaran yang memadai, pemerintah pusat menjalankan kebijakan sentralistik dengan program-program yang bersifat karitatif. Sejak tahun 1970-an di bawah kebijakan economic growth sampai dengan sekarang, pemerintah pusat menjadikan desa sebagai obyek dari seluruh proyek yang dijalankan untuk menanggulangi kemiskinan.

Berdasarkan kebijakan tersebut, pemerintah pusat menjalankan program-programnya dalam bentuk: (1) menurunkan jumlah persentase penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan melalui bantuan kredit, jaminan usaha dan pengadaan sarana dan prasarana di desa seperti PUSKESMAS, INPRES, KUD, dan sebagainya; (2) mengusahakan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat miskin melalui distribusi sembako yang dibagikan secara gratis kepada penduduk miskin; (3) mengusahakan pelayanan kesehatan yang memadai dengan menyebarkan tenaga-tenaga kesehatan ke desa dan pengadaan obat-obatan melalui PUSKESMAS; (4) mengusahakan penyediaan fasilitas pendidikan dasar dengan memperbanyak pendirian sekolah-sekolah INPRES; (5) menyediakan kesempatan bekerja dan berusaha melalui proyek-proyek perbaikan sarana dan prasarana milik pemerintah, penyediaan kredit dan modal usaha yang diberikan dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat miskin; (6) memenuhi kebutuhan perumahan dan sanitasi dengan memperbanyak penyediaan rumah-rumah sederhana untuk orang miskin; (7) mengusahakan pemenuhan air bersih dengan pengadaan PAM; (8) menyediakan sarana listrik masuk desa, sarana telekomunikasi dan sejenisnya; dan sebagainya.

Berbagai program yang dijalankan oleh pemerintah tersebut, lebih banyak menuai kegagalan dibandingkan dengan keberhasilannya. Program Kredit Usaha Tani (KUT) misalnya, merupakan salah satu di antara serangkaian program pemerintah yang terbaru, yang menuai kegagalan. Program ini menempatkan Bank, Koprasi, LSM dan kelompok tani hanya sebagai mesin penyalur kredit, sedangkan tanggungjawab kredit terletak di tangan Departemen Koprasi. Pada tahun 1998, platfon KUT mencapai 8,4 triliun rupiah naik 13 kali lipat dari sebelumnya. Para petani menyebut program ini sebagai "kesalahan bertingkat enam" karena; (1) pelaksanaan KUT tidak benar-benar memberdayakan petani; (2) mesin penyalur KUT (LSM, Bank, Koprasi), ditunjuk tidak diseleksi secara ketat; (3) Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) dibuat secara serampangan, banyak fiktifnya; (4) kredit diberikan kepada siapa saja termasuk nonpetani, sehingga kurang tepat sasaran; (5) tidak ada pengawasan dalam penyaluran, penerimaan dan penggunaan kredit; (6) dana penyaluran banyak bocornya, mulai dari Departemen Koprasi, hingga ke KUD. Akibatnya per September 2000, tunggakan KUT mencapai 6,169 triliun rupiah atau 73,69% dari realisasi kredit.

Sejak tahun 2000, program KUT yang dianggap gagal total diganti pemerintah dengan program baru yakni Program Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada bank, pemerintah hanya bertindak sebagai pemberi subsidi pada tahap awal. Berdasarkan target pemerintah, program ini menuai sukses tahun 2004, tetapi lagi-lagi mengalami kegagalan karena kesulitan bank menyalurkan kredit kepada petani dan kesulitan petani membayar bunga kredit. Dari platfon sebesar 2,3 triliun rupiah, sampai Maret 2001 baru terrealisasi 3,85 miliar rupiah atau 1,57%. Akibatnya, terjadi kelangkaan kredit usaha tani di desa. Di samping program KUT dan KKP juga ada Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Program ini bertujuan mengurangi kemiskinan di tingkat pedesaan, sekaligus memperbaiki kinerja pemerintah daerah dengan cara memberi bantuan modal dan pengadaan infrastruktur. Inti dari program ini adalah perencanaan yang melibatkan masyarakat, laki-laki dan perempuan, termasuk masyarakat miskin. Program ini dirancang melalui mekanisme musyawarah mulai dari tingkat dusun hingga ke tingkat kecamatan. Pelaksanaan program didampingi oleh seorang fasilitator kecamatan, dua orang fasilitator desa, satu laki-laki, satu perempuan di tiap desa, juga dibantu lembaga pengelola yaitu Unit Pengelola Keuangan (UPK) di kecamatan yang melibatkan LMD. Program ini di beberapa daerah mengalami kegagalan, karena tidak adanya perencanaan yang matang dan juga kuranya transparansi penggunaan dan alokasi anggaran kepada masyarakat desa.

Kisah kegagalan program yang dirancang dan didanai oleh pemerintah dan Bank Dunia, juga terjadi dalam Program Padat Karya Desa-Pengembangan Wilayah Terpadu (PKD-PWT) di NTT , Sulawesi Selatan, NTB dan Sulawesi Utara serta program PDMDEK di Jawa Barat. Program PKD-PWT membagikan uang bantuan sebesar 50 juta rupiah kepada setiap desa dan langsung disalurkan ke rekening Tim Pelaksana Desa (TPD). Jumlah desa yang dibantu dengan program ini mencapai 1.957 desa. Program ini mengalami kegagalan, karena proses perencanaan, pelaksanaan dan penyaluran bantuan kepada desa, sangat tergantung kepada TPD. Sementara PDMDEK di Jawa Barat, mengalami kegagalan karena dana bergulir yang diberikan kepada masing-masing desa sebanyak 14 juta rupiah per desa, digunakan masyarakat untuk tujuan konsumtif.


 


 

Strategi dan Kebijakan Alternatif

Dilihat dari kegagalan program penanggulangan kemiskinan selama ini, strategi dan kebijakan alternatif yang berpihak kepada rakyat miskin, option for the poor menjadi kebutuhan mutlak menanggulangi kemiskinan. Untuk membuat sebuah strategi dan kebijakan alternatif, diperlukan pengetahuan yang memadai tentang penyebab utama kemiskinan masyarakat desa. Dari serangkaian penyebab kemiskinan masyarakat desa yang telah disebutkan di depan, maka strategi dan kebijakan alternatif menanggulangi kemiskinan desa dapat dilakukan dengan cara;

(1) memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat desa untuk memperoleh layanan pendidikan yang memadai, secara gratis dan cuma-cuma. Pemerintah perlu mengembangkan sistem pendidikan nasional yang berorentasi keberpihakan kepada orang miskin (pendidikan untuk orang miskin). Pendidikan yang ditawarkan di Indonesia saat ini sangat mahal dan biayanya sulit dijangkau oleh orang-orang miskin. Karenanya, mereka memilih untuk tidak menyekolahkan anak-anak mereka, sebab beban biaya pendidikan yang ada, tidak sebanding dengan kemampuan keuangan mereka. Masyarakat desa selalu mengatakan bahwa "jangankan untuk menyekolahkan anak-anak, untuk makan sehari-hari saja, susahnya minta ampun;

(2) redistribusi lahan dan modal pertanian yang seimbang. Ketimpangan kepemilikan lahan pertanian, memperlebar jurang kemiskinan antara masyarakat yang tinggal di pedesaan. Sebagian besar tanah-tanah pertanian yang subur dimiliki oleh tengkulak lokal dan tuan tanah. Akibatnya, tanah-tanah pertanian yang ada, tidak memberikan penghasilan yang cukup bagi orang-orang desa yang memiliki tanah dan modal pertanian yang terbatas. Sebagian besar tenaga dan fisik mereka dipergunakan untuk menjadi buruh di tanah-tanah pertanian milik tuan tanah dan tengkulak lokal;

(3) mendorong perkembangan investasi pertanian dan pertambangan ke daerah pedesaan. Pembukaan investasi pertanian dan pertambangan dapat memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat desa. Dengan begitu, pendapatan mereka akan meningkat dan berpengaruh pada perubahan kesejahteraan hidup;

(4) membuka kesempatan yang luas kepada masyarakat desa untuk memperoleh kredit usaha yang mudah. Sistem kredit yang ada saat ini, belum memberikan kemudahan usaha bagi masyarakat desa dan sering salah sasaran. Karena itu, diperlukan kebijakan baru yang memberikan jaminan kredit usaha yang memadai bagi masyarakat desa;

(5) memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan masyarakat desa. Kebutuhan sandang, papan dan pangan perlu dilakukan melalui sebuah mekanisme lumbung desa yang memberikan kesempatan yang sama kepada masyarakat desa, memperoleh sumber-sumber kebutuhan yang disediakan secara terorganisir;

(6) memperkenalkan sistem pertanian modern dengan teknologi baru yang memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk menggali sumber-sumber pendapatan yang memadai. Teknologi pertanian diperbanyak dan diberikan secara cuma-cuma kepada petani untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan mempermudah pemenuhan kebutuhan hidup mereka;

(7) memberikan jaminan kesehatan kepada mayarakat dengan sistem layanan kesehatan gratis, memperbanyak PUSKESMAS dan unit-unit layanan kesehatan kepada masyarakat desa yang miskin dan terbelakang;

(8) memberikan jaminan asuransi dan jaminan sosial terhadap masyarakat desa. Jaminan asuransi dan jaminan sosial dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin dan memberikan semangat hidup yang lebih berarti. Sistem asuransi dan jaminan sosial yang ada saat ini, diberlakukan secara diskriminatif, hanya terbatas kepada mereka yang memiliki uang saja. Untuk itu, pemerintah berkewajiban memberikan jaminan asuransi yang memadai kepada masyarakat miskin;

(9) memperkuat komitmen eksekutif dan legislatif untuk memperbaiki tatanan pemerintahan. Tatanan pemerintahan yang ada saat ini, memberikan keleluasaan bagi terjadinya praktik korupsi dalam seluruh level pemerintahan. Perbaikan tatanan pemerintahan, menjadi kata kunci untuk membuat program penanggulangan kemiskinan benar-benar diperuntukkan bagi masyarakat miskin;

(10) Mendorong agenda pembangunan daerah memprioritaskan pemberantasan kemiskinan sebagai skala prioritas yang utama, mendorong tekad semua pihak untuk mengakui kegagalan penanggulangan kemiskinan selama ini, membangkitkan kesadaran kolektif agar memahami kemiskinan sebagai musuh bersama, dan meningkatkan partisipasi semua pihak dalam memberantas kemiskinan.

Untuk menunjang keberhasilan strategi tersebut, diperlukan unsur-unsur berikut;

(a) upaya penanggulangan kemiskinan tersebut sebaiknya dilakukan secara menyeluruh, terpadu, lintas sektor, dan sesuai dengan kondisi dan budaya lokal, karena tidak ada satu kebijakan kemiskinan yang sesuai untuk semua;

(b) memberikan perhatian terhadap aspek proses, tanpa mengabaikan hasil akhir dari proses tersebut. Biarkan orang miskin merasakan bagaimana proses mereka bisa keluar dari lingkaran setan kemiskinan;

(c) melibatkan dan merupakan hasil proses dialog dengan berbagai pihak dan konsultan dengan segenap pihak yang berkepentingan terutama masyarakat miskin;

(d) meningkatkan kesadaran dan kepedulian di kalangan semua pihak yang terkait, serta membangkitkan gairah mereka yang terlibat untuk mengambil peran yang sesuai agar tercipta rasa memiliki program;

(e) menyediakan ruang gerak yang seluas-luasnya, bagi munculnya aneka inisiatif dan kreativitas masyarakat di berbagai tingkat. Dalam hal ini, pemerintah lebih berperan hanya sebagai inisiator, selanjutnya bertindak sebagai fasilitator dalam proses tersebut, sehingga akhirnya, kerangka dan pendekatan penanggulangan kemiskinan disepakati bersama;

(f) pemerintah dan pihak lainnya (ORNOP, Perguruan Tinggi, pengusaha, masyarakat madani, partai politik dan lembaga sosial keagamaan) dapat bergabung menjadi kekuatan yang saling mendukung;

(g) mereka yang bertanggungjawab dalam menyusun anggaran belanja harus menyadari pentingnya penanggulangan kemiskinan ini sehingga upaya ini ditempatkan dan mendapat prioritas utama dalam setiap program di setiap instansi. Dengan demikian, penanggulangan kemiskinan menjadi gerakan dari, oleh dan untuk rakyat.

Secara umum, program strategis yang dapat dijalankan untuk menanggulangi kemiskinan di desa adalah;

(1) membuka peluang dan kesempatan berusaha bagi orang miskin untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan ekonomi. Pemerintah harus menciptakan iklim agar pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, terutama oleh penduduk miskin. Karena itu, kebijakan dan program yang memihak orang miskin perlu difokuskan kepada sektor ekonomi riil (misalnya; pertanian, perikanan, manufaktur, usaha kecil menengah), terutama di sektor informal yang menjadi tulang punggung orang miskin. Agar pertumbuhan ekonomi ini berjalan dan berkelanjutan, maka di tingkat nasional diperlukan syarat; (a) stabilitas makro ekonomi, khususnya laju inflasi yang rendah dan iklim sosial politik dan ekonomi yang mendukung investasi dan inovasi para pelaku ekonomi. Secara garis besar hal ini menjadi tanggungjawab pemerintah pusat; (b) diperlukan kebijakan yang berlandaskan pradigma keberpihakan kepada orang miskin agar mereka dapat sepenuhnya memanfaatkan kesempatan yang terbuka dalam proses pembangunan ekonomi; (c) memberikan prioritas tinggi pada kebijakan dan pembangunan sarana sosial dan sarana fisik yang penting bagi masyarakat miskin, seperti jalan desa, irigasi, sekolah, air minum, air bersih, sanitasi, pemukiman, rumah sakit, dan poliklinik di tingkat nasional maupun daerah. Beberapa program yang bisa dijalankan dengan menggunakan kebijakan ini adalah;

  • program penyediaan sarana kesehatan bagi masyarakat miskin (PUSKESMAS, POSYANDU), dan sebagainya;
  • program peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, serta penyediaan pendidikan gratis bagi orang miskin;
  • program pemberdayaan masyarakat, peningkatan pendidikan informal dan keterampilan bagi masyarakat miskin, melalui inisiatif dari pemerintah daerah, juga melalui kerjasama dengan badan pendidikan, perguruan tinggi atau dengan LSM lokal;
  • program pembentukan modal usaha melalui peningkatan akses masyarakat miskin terhadap lembaga-lembaga keuangan agar mereka ikut serta dalam program kredit dan tabungan;
  • program sertifikasi tanah dan tempat usaha bagi orang miskin untuk menjaga asetnya dengan baik;
  • program pengembangan pusat pasar pertanian dan pusat informasi perdagangan.

    (2) Kebijakan dan program untuk memberdayakan kelompok miskin. Kemiskinan memiliki sifat multidimensional, maka penanggulanganya tidak cukup hanya dengan mengandalkan pendekatan ekonomi, akan tetapi juga mengandalkan kebijakan dan program di bidang sosial, politik, hukum dan kelembagaan. Kebijakan dalam memberdayakan kelompok miskin harus diarahkan untuk memberikan kelompok miskin akses terhadap lembaga-lembaga sosial, politik dan hukum yang menentukan kehidupan mereka. Untuk memperluas akses penduduk miskin diperlukan; (a) tatanan pemerintahan yang baik (good governance), terutama birokrasi pemerintahan, lembaga hukum, dan pelayanan umum lainnya; (b) dalam tatanan pemerintahan diperlukan keterbukaan, pertanggungjawaban publik, dan penegakan hukum, serta partisipasi yang luas masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan. Beberapa program yang bisa dilaksanakan adalah;

  • Program penguatan organisasi sosial, kelompok ekonomi, dan organisasi swamasyarakat lainnya seperti kelompok arisan, kelompok petani pangan, pedagang kecil, simpan-pinjam dan sebagainya;
  • Program keterlibatan kelompok miskin dalam proses pendidikan demokrasi, misalnya dalam pengambilan keputusan melalui public hearing, penggunaan hak tanya dan sebagainya;
  • Program keterlibatan kelompok miskin dalam pemantauan dan evaluasi pembangunan.

    (3) Kebijakan dan Program yang Melindungi Kelompok Miskin. Kelompok masyarakat miskin sangat rentan terhadap goncangan internal (misalnya kepala keluarga meninggal, jatuh sakit, kena PHK) maupun goncangan eksternal (misalnya kehilangan pekerjaan, bencana alam, konflik sosial), karena tidak memiliki ketahanan atau jaminan dalam menghadapi goncangan-goncangan tersebut. Kebijakan dan program yang diperlukan mencakup upaya untuk; (a) mengurangi sumber-sumber resiko goncangan; (b) meningkatkan kemampuan kelompok miskin untuk mengatasi goncangan dan; (c) menciptakan sistem perlindungan sosial yang efektif. Beberapa program yang bisa dilaksanakan untuk kategori ini adalah;

  • Program lumbung desa yang sudah dikenal sejak lama. Program ini dapat disempurnakan dengan memasukkan metode yang lebih baik;
  • Program kredit mikro atau koprasi simpan pinjam untuk kelompok miskin yang mudah diakses, dengan persyaratan atau agunan yang mudah dan syarat pengembalian yang fleksibel;
  • Program pengembangan modal usaha dan kewiraswastaan untuk mendorong kelompok miskin meningkatkan kemampuan pemupukan modal usahanya secara mandiri dan berkelanjutan;
  • Program pembentukan lembaga khusus penanggulangan bencana alam dan sosial yang terpadu, efektif dan responsif di daerah.

    (4) Kebijakan dan Program untuk memutus pewarisan kemiskinan antar generasi; hak anak dan peranan perempuan. Kemiskinan seringkali diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Karena itu, rantai pewarisan kemiskinan harus diputus. Meningkatkan pendidikan dan peranan perempuan dalam keluarga adalah salah satu kunci memutus rantai kemiskinan. Beberapa program yang dapat dikembangkan dalam kategori ini adalah;

  • Program pemberian bantuan sarana dan beasiswa untuk masyarakat miskin;
  • Program pemberian makanan tambahan bagi anak-anak miskin di sekolah;
  • Program magang atau menyerap lulusan sekolah kejuruan atau diploma;
  • Program pemberdayaan perempuan melalui kegiatan produktif;
  • Program penyuluhan bagi para ibu, bapak dan remaja, tentang hak-hak dan kewajiban mereka dalam berumah tangga.

    (5) Kebijakan dan program penguatan otonomi desa. Otonomi desa dapat menjadi ruang yang memungkinkan masyarakat desa dapat menanggulangi sendiri kemiskinannya. Kadang-kadang pemerintah menganggap bahwa yang dibutuhkan masyarakat miskin adalah sumber-sumber material bagi kelangsungan hidup penduduk miskin. Anggapan tersebut, tidak selamanya benar, karena toh dalam kondisi tertentu, masyarakat desa yang miskin dapat keluar dari persoalan kemiskinan tanpa bantuan material pemerintah. Inisiatif dan kreativitas mereka dapat menjadi modal yang berharga untuk keluar dari lilitan kemiskinan. Otonomi desa merupakan ruang yang dapat digunakan oleh masyarakat desa untuk mengelola inisiatif dan kreativitas mereka dengan baik, menjadi sumber daya yang melimpah untuk keluar dari jeratan kemiskinan. Kebijakan dan program yang bisa dilakukan untuk penguatan otonomi desa adalah;

  • meningkatkan mutu sumber daya manusia desa melalui pendidikan formal dan nonformal;
  • meningkatkan ketersediaan sumber-sumber biaya pembangunan desa dengan alokasi anggaran yang jelas dari pusat, provinsi dan kabupaten;
  • menata lembaga pemerintahan desa yang lebih efektif dan demokratis;
  • membangun sistem regulasi (PERDes) yang jelas dan tegas;
  • mewujudkan otonomi desa untuk memberikan ruang partisipasi dan kreativitas masyarakat;
  • mengurangi praktek korupsi di birokrasi pemerintah desa melalui penerapan tatanan pemerintahan yang baik;
  • menciptakan sistem pemerintahan dan birokrasi yang bersih, akuntabel, transparan, efisien dan berwibawa;
  • meningkatnya partisipasi masyarakat desa dalam pengambilan kebijakan publik;
  • memberikan ruang yang cukup luas bagi keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan kebijakan publik.

Berbagai program dan kebijakan penanggulangan kemiskinan tersebut, membutuhkan usaha yang serius untuk melaksanakannya. Disamping itu diperlukan komitmen pemerintah dan semua pihak untuk melihat kemiskinan sebagai masalah fundamental yang harus ditangani dengan baik, berkelanjutan dan dengan dukungan anggaran yang jelas.***

RPJMDes Yang Tidak Partifipatif

Dalam beberapa analisis terhadap desa yang membuat RPJMDes, menganggap bahwa perencanaan pembangunan desa masih kurang partisipatif dan masih bersifat klise semata. Dalam beberapa perencanaan masih dibuat oleh Kepala Desa sendiri maupun oleh Sekretaris desa, setelah itu baru diajukan kepada ketua BPD. Padahal melihat betapa pentingnya RPJMDes yang lebih partisipatif akan menunjang sebuah perencanaan pembangunan di desa. Dari beberapa temuan yang ditemukan di lapangan, masih adanya beberapa musrenbang desa maupun pembuatan RPJMDes yang tidak melalui bottom up, alangkah baiknya jika musrenbang desa maupun yang lainnya dilakukan dari musyawarah di tingkat RT. Setelah hasil-hasil yang dicapai ditingkat RT akan di musyawarahkan lagi di tingkat RW, selanjutnya tingkat dusun dan selanjutnya tingkat desa.

Beberapa hal yang bisa kita lakukan dalam sebuah perencanaan adalah kerja-kerja berurutan dan hasil analisa yang memanfaatkan biaya, SDM, alat dan waktu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Perencanaan adalah proses yang diselenggarakan oleh organisasi atau lembaga yang akan menjalankan program/rencana kerja tersebut. Perencanaan pembangunan desa adalah proses yang diselenggarakan oleh pemerintah desa bersama masyarakat untuk mencapai tujuan pembangunan desa yang bersangkutan. Setiap desa diamanatkan untuk menyusun Dokumen rencana pembangunan 5 tahunan yaitu RPJMDes. Dalam penyusunan Dokumen RPJMDes, idealnya dilakukan setiap awal periode pemilihan seorang kepala Desa. Apabila Desa belum memiliki RPJMDes, sementara periode kepemimpinan masih lama, dapat melakukan penyusunan dokumen RPJMDes untuk periode kepemimpinan yang masih tersedia. Dokumen RPJMDes juga merupakan dokumen yang menjadi rujukan dalam menyusun dokumen Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes) disetiap Tahunnya. Musrenbang juga merupakan forum pendidikan bagi warga agar menjadi bagian aktif dari tata pemerintahan dan pembangunan. Pembangunan juga tidak akan bergerak maju apabila salah satu dari tiga komponen tata pemerintahan (pemerintah, masyarakat, swasta) tidak berperan atau berfungsi.

UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah merupakan kerangka dasar otonomi daerah yang salah satunya mengamanatkan pelaksanaan perencanaan pembangunan dari bawah secara partisipatif. PP no 72 tahun 2005 tentang pemerintahan desa menjabarkan lebih lanjut mengenai posisi desa dalam konteks otonomi daerah. Termasuk kewajiban pemerintah desa untuk membuat perencanaan pembangunan sesuai UU 32 tahun 2004.

Payung hukum untuk pelaksanaan musrenbang diatur dalam Undang-Undang No. 25 tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang secara teknis pelaksanaannya diatur dalam Surat Edaran Bersama (SEB) menteri negara perencanaan pembangunan nasional/Kepala BAPPENAS dan Mentri dalam Negeri tentang petunjuk teknis penyelenggaraan Musrenbang yang diterbitkan setiap tahun. Untuk musrenbang Desa Kemudian diterbitkan permendagri nomor 66 tahun 2007 tentang perencanaan Desa yang memuat petunjuk teknis penyelenggaraan Musrenbang untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menegah Desa (RPJMDesa) 5 Tahunan dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDesa) 1 tahunan.
Konsep Musyawarah menunjukkan bahwa forum musrenbang bersifat partisipatif dan dialogis. Musyawarah merupakan istilah yang sebenarnya sudah mempunyai arti cukup jelas, yaitu merupakan forum untuk merembugkan sesuatu dan berakhir pada subuah kesepakatan, atau pengambilan keputusan secara bersama-sama, dan bukan sekedar seminar yang bersifat sosialisasi informasi. Proses musrenbang jangan sampai disusun sebagai acara seremonial yang sebagian waktunya diisi oleh sambutan dan pidato. Inti dari musrenbang adalah partisipasi aktif warga dalam penentuan keputusan pembangunan desa dimana dia tinggal dan beriteraksi dengan lingkungannya.

Musrenbang adalah Forum dialogis antara pemerintah desa dengan pemangku kepentingan untuk mendiskusikan dan menyepakati program pembangunan yang dapat memajukan keadaan desa. Dalam musrenbang desa, pemerintah desa dan seluruh komponen warganya bekerjasama memikirkan cara untuk kemajuan desanya melalui program pembangunan yang telah tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes).

Tujuan dari kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa adalah melakukan penyepakatan prioritas masalah, kebutuhan dan program Desa yang akan menjadi bahan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dengan rincian sebagai berikut Peningkatan Kapasitas kelompok warga dalam hal ini calon fasilitator desa yang akan melakukan fasilitasi dalam proses-proses penyusunan RPJMDes. Memberikan Pemahaman Terhadap Calon fasilitator terkait perencanaan desa. Peningkatan Kapasitas Unsur Pemerintahan Desa Dalam Menampung dan menetapkan rumusan Visi dan Misi desa yang diperoleh dari Lokakarya Desa. Meningkatkan kapasitas seluruh komponen warga untuk bekerjasama dengan unsur pemerintahan Desa dalam menetapkan program dan kegiatan indikatif 5 tahun yang diperoleh dari Lokakarya Desa. Mewujudkan perencanaan pembangunan desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan keadaan setempat. Menciptakan rasa memiliki dan tanggungjawab masyarakat terhadap program pembangunan desa. Memelihara dan mengembangkan hasil-hasil pembangunan di desa. Menumbuh kembangkan dan mendorong peran serta masyarakat dalam pembangunan di desa.

Meningkatnya Kapasitas kelompok warga dalam hal ini calon fasilitator desa yang akan melakukan fasilitasi dalam proses-proses penyusunan RPJMDes. Munculnya para fasilitator desa yang tergabung dalam Kelompok Kerja (POKJA) perencanaan pembangunan desa. Meningkatnya Kapasitas Institusi Pemerintahan Desa Dalam Menampung, dan Menetapkan Rumusan Visi dan Misi Desa yang diperoleh dari proses Lokakarya Desa . Meningkatnya kapasitas seluruh komponen warga untuk bekerjasama dengan unsur pemerintahan Desa dalam Proses Penetapan Program dan kegiatan indikatif 5 tahun yang diperoleh dari Lokakarya Desa. Rancangan RPJMDes yang meliputi Visi, Misi, Program dan Kegiatan indikatif. Terwujudnya perencanaan pembangunan desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan keadaan setempat. Terciptanya rasa memiliki dan tanggungjawab Warga terhadap program dan pembangunan desa. Munculnya semangat warga untuk aktif berperan serta masyarakat dalam pembangunan desa. Dan yang terakhir adalah Berita acara musrenbang.

Beberapa proses yang perlu dilalui seperti, Pengorganisasian Musrenbang, Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) musrenbang, Peningkatan kapasitas Kelompok Kerja (Pokja) Musrenbang, Peningkatan kapasitas khusus para Calon Fasilitator Musrenbang yang ada di masing-masing Pokja.

Persiapan teknis musrenbang desa, perlu juga di buat seperti, Penyusunan jadwal dan agenda musrenbang desa, Penyusunan Rencana Musyawarah Dusun, Penyusunan Rencana Lokakarya Desa serta Penyusunan Rencana Musyawarah Pembangunan Desa (MUSRENBANGDES). Persiapan Teknis Penetapan Rencana seperti Musyawarah BPD, Penetapan Perdes RPJMDes, Mengumumkan secara terbuka kepada masyarakat mengenai agenda musrenbang RPJMDes, dan Mengkoordinir persiapan logistik.

Kajian Desa Secara Partisipatif, Kajian Kondisi Permasalahan dan potensi desa bersama warga masyarakat. Penyusunan data/informasi desa dari hasil kajian oleh Tim/POKJA. Penyusunan draft rancangan RPJMDes. Kaji ulang dokumen RPJMDes Tahun Lalu (Jika Ada) dan hasil kajian desa oleh POKJA. Penyusunan draft rancangan awal RPJMDes dengan mengacu pada kajian tersebut diatas oleh POKJA.

Peserta pelaksanaan musyawarah perencanaan pembangunan Desa selama Lima Tahun ini akan diikuti oleh berbagai unsur masyarakat, dan berbagai pihak-pihak yang berkepentingan yang ada di Desa. Setelah jadwal, agenda dan tahapan pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan diumumkan 7 hari sebelum hari H, maka warga Desa siapapun dapat menghadirinya untuk turut berpartisipasi. Sebab forum ini milik warga masyarakat dan untuk masyarakat. Komposisi peserta musrenbang desa akan lebih ideal, apabila diikuti oleh berbagai komponen masyarakat (individu atau kelompok) yang diantaranya terdiri atas : Keterwakilan Wilayah (Dusun/Kampung/RT/RW),

Keterwakilan berbagai sektor (Ekonomi/Pertanian/Kesehatan/Pendidikan/Lingkungan),

Keterwakilan kelompok usia (Generasi tua dan generasi muda),

Keterwakilan kelompok sosial dan perempuan (Tokoh masyarakat, tokoh perempuan, tokoh pemuda, tokoh agama, bapak-bapak, ibu-ibu, kelompok marginal),

Keterwakilan 3 unsur pemerintahan (Masyarakat Umum, Pemerintah Desa, Swasta/Bisnis),

Keterwakilan bebagai organisasi yang menjadi pemangku kepentingan dalam pembangunan desa.

Kewenangan Desa : Antara Mimpi dan Kenyataan

PP No. 72 /2005 tentang Desa ternyata dinilai lebih longgar dalam melakukan desentralisasi kekuasaan terhadap desa. PP tersebut kembali menghidupkan peran BPD sebagai parlemen desa untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan desa. Meskipun demikian, tentu saja sebagai suatu peraturan pelaksanaan dari UU No. 32/2004, PP itu tidak banyak mampu menawarkan paradigma baru dalam menghidupkan kembali demokrasi di desa. Garis sub ordinasi kewenangan BPD di bawah eksekutif masih dapat dilacak jejaknya dalam PP tentang desa itu, yang pada pasal 29 menyebutkan kedudukan BPD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa. Padahal, pasal 202 ayat (1) UU No. 32/2004 memberikan pengertian pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa.
 

Seperti dilansir dari sinar harapan beberapa waktu lalu menurut Persada Girsang Dirjen Pemdes Depdagri mengungkapkan banyak hal dalam tuntutan kepala desa yang sebenarnya masuk akal dan memang harus dipenuhi. Ada juga tuntutan yang sebenarnya bertolak belakang dan tidak bisa dipenuhi. Sebut saja keinginan untuk terlibat dalam kegiatan politik partai dan keinginan memperpanjang masa jabatan. Jika keinginan terlibat dalam politik diizinkan, bukan tidak mungkin akan terjadi benturan kepentingan dan bisa merugikan rakyat. Girsang menyatakan otonomi yang sesungguhnya bukan di kabupaten melainkan di desa. Tapi yang terjadi sekarang karena otonom itu berpusat di kabupaten, maka untuk izin mendirikan pasar di desa saja harus ada izin dari kabupaten.
 

Sudah menjadi pemahaman umum bahwa Otonomi Daerah sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 32/2004 memberi kesempatan kepada Pemerintah Kabupaten untuk mengoptimalkan potensi yang ada di daerah masing-masing. Otonomi daerah itu sendiri merupakan pemberian kewenangan Kepada Daerah untuk mengatur anggaran daerahnya sendiri, tapi tidak lepas dari pengawasan Pemerintah Pusat.
 

Berkaitan dengan Otonomi Daerah, bagi Pemerintah Desa; dimana keberadaannya berhubungan langsung dengan masyarakat dan sebagai ujung tombak pembangunan. Desa semakin dituntut kesiapannya baik dalam hal merumuskan Kebijakan Desa (dalam bentuk Perdes), merencanakan pemba-ngunan desa yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta dalam memberikan pelayanan rutin kepada masyarakat. Demikian pula dalam mencip-takan kondisi yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kreativitas dan inovasi masya-rakat dalam mengelola dan menggali potensi yang ada sehingga dapat menghadirkan nilai tambah ekonomis bagi masyarakatnya. Dengan demi-kian, maka cepat atau lambat desa-desa tersebut diharapkan dapat menjelma menjadi desa-desa yang otonom, yakni masyarakat desa yang mampu memenuhi kepentingan dan kebutuhan yang dirasakannya.
 

Salah satu ukuran keberhasilan pelaksanaan Otonomi Desa adalah Pemerintah Desa semakin mampu memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dan mampu membawa kondisi masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik. Dengan terselenggaranya Otonomi Desa, maka hal itu akan menjadi pilar penting Otonomi Daerah. Keberhasilan Otonomi Daerah sangat ditentukan oleh berhasil tidaknya Otonomi Desa. Namun demikian, realitas yang terjadi pada era otonomi dan desentralisasi yang muatannya sarat akan nilai-nilai demokrasi dan transparansi ini cenderung sering menghadirkan permasalahan yang kompleks di desa. Dimana pada era tersebut, proses politik berjalan seperti lebih cepat daripada kemampuan untuk mengelola manajemen pemerintahan desa yang otonom.
 

Masyarakat atau kelompok masyarakat diper kenalkan dengan hal baru dalam konteks politik, yakni kebebasan menentukan sikap dan pendapat serta meniru demokrasi ala barat, dan demokrasi diartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Beberapa kendala lain yang pantas menjadi bahan pemikiran dan perlu dicari jalan keluarnya, antara lain :
 

Pertama, merubah mentalitas aparatur, baik di tingkat Desa, Kecamatan maupun Kabupaten yang terbiasa bersikap sentralistis menuju mentalitas pemberdayaan daerah. Sehingga untuk melaksanakan suatu kebijakan terkadang masih harus menunggu Juklak, Juknis dan segala tuntunan dari atas (Tuntas).
 

Kedua, usulan-usulan tentang prioritas program pembangunan di desa yang disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten setelah melalui Musbang di tingkat desa dan kecamatan sering terkesan hanya formalitas dan kurang diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh Pemerintah Kabupaten. Hal itu dapat dilihat dari usulan tentang prioritas program pembangunan di desa dan kecamatan yang "itu-itu saja" dari tahun ke tahun. Ironisnya, usulan-usulan itu sering terbentur pada ketidakmampuan daerah dalam hal pendanaan, atau bahkan terperangkap dalam jaring KKN model baru yang menyebabkannya terlantar dan hanya menjadi arsip dalam laci. Bukan rahasia lagi bahwa bagi Desa atau Kecamatan yang mempunyai orang yang memiliki akses di pemerintahan, baik di Legislatif maupun Eksekutif, sangat memudahkan Desa atau Kecamatan tersebut memperoleh prioritas proyek-proyek pembangunan.
 

Ketiga, jika Otonomi Desa benar-benar dapat diwujudkan, barangkali cukup menguntungkan bagi desa-desa yang memiliki aset dan sumber daya alam yang memadai, namun justru mempersulit untuk desa-desa yang kurang strategis dalam masalah sumber daya alam dan tidak memiliki aset yang cukup.
 

Keempat, sikap ambigu Pemerintah Kabupaten dalam penanganan aset Kabupaten yang ada di desa. Di satu sisi aset tersebut dituntut untuk menjadi mata air bagi PAD yang harus selalu mengalir deras. Di sisi lain, Desa yang memiliki aset dan banyak menerima imbas dari keberadaan aset tersebut kurang dilibatkan penanganannya dan hanya menerima penyisihan hasil yang sangat jauh dari pantas, apalagi cukup. Contoh yang mudah mengenai hal ini adalah keberadaan pasar milik Pemerintah Kabupaten yang ada di desa. Ada satu wacana, bahwa untuk terwujudnya keadilan atau keseimbangan dalam pemanfaatan Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten, desa-desa mesti tergabung dalam asosiasi atau paguyuban agar memiliki kekuatan untuk berembug dan tawar-menawar dalam hal pemanfaatan DAU Kabupaten.
 

PP No. 72 /2005 tentang Desa ternyata dinilai lebih longgar dalam melakukan desentralisasi kekuasaan terhadap desa. PP tersebut kembali menghidupkan peran BPD sebagai parlemen desa untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan desa. Meskipun demikian, tentu saja sebagai suatu peraturan pelaksanaan dari UU No. 32/2004, PP itu tidak banyak mampu menawarkan paradigma baru dalam menghidupkan kembali demokrasi di desa. Garis sub ordinasi kewenangan BPD di bawah eksekutif masih dapat dilacak jejaknya dalam PP tentang desa itu, yang pada pasal 29 menyebutkan kedudukan BPD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa. Padahal, pasal 202 ayat (1) UU No. 32/2004 memberikan pengertian pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa.
 

Reduksi sistematis terhadap kedudukan dan peranan BPD terlihat sekurang-kurangnya dalam 2 (dua) hal, yaitu: (1). Tidak ditegaskannya kedudukan BPD sebagai parlemen/legislatif desa; (2). Mekanisme pengisian keanggotaan BPD yang semula dalam UU No. 22/1999 "dipilih" berdasarkan mekanisme demokratis, kini dalam UU No. 32/2004 ditetapkan secara musyawarah dan mufakat dengan basis perwakilan wilayah.
 

Ditinjau dari sudut aliran pertanggungjawaban (legal accountabi-lity) penyelenggaraan pemerintahan desa oleh Kepala Desa versi UU No. 32/2004 maupun PP No. 72/2005, terlihat sangat kentara adanya tarikan ke atas. Pasal 15 ayat (2) PP No. 72/2005 menyebutkan bahwa Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penye-lenggaraan pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota. Tanggung jawab Kepala Desa kepada BPD hanya dalam bentuk penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban, dan kepada masyarakat hanya menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa.
 

Rumusan aturan dalam pasal 15 ayat (2) PP desa itu tentu saja terlihat kontradiktif dengan pasal 35 huruf b PP desa, yang mengatur bahwa BPD memiliki salah satu wewenang untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa. Meskipun pada pasal 35 huruf c PP Desa BPD diberikan kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa kepada Bupati/walikota, namun mengacu pada rumusan pasal 15 ayat (2) PP Desa di atas, sangat jelas terlihat ambiguitas pe-ngaturan kewenangan pengawasan BPD.
 

Selain itu, menyangkut sistem perencanaan di desa terlihat pula belum adanya kehendak negara untuk membangun pola local self planning di desa. Pasal 63 PP Desa masih mengikuti jejak UU No. 32/2004, yang menempatkan perencanaan desa sebagai satu kesatuan dengan sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota. Sementara itu, pasal 150 UU No. 32/2004 telah menegaskan bahwa sistem perencanaan daerah merupakan satu kesatuan dengan perencanaan pembangunan nasional. Apabila ditarik garis lurus untuk menghubungkan substansi pengaturan mengenai perencanaan di desa, daerah dan pusat, terlihat sangat jelas yang dibangun adalah model perencanaan terpusat (centralized planning). Sentralisasi perencanaan semacam itu sebenarnya justru mengingkari hakekat otonomi daerah, yang seharusnya terus mengalir menjadi otonomi desa dan akhirnya menjadi otonomi rakyat.

Tentang RT RW

RW masuk di struktur masyarakat. Kepengurusan RW mesti orang yang sudah mengetahui lingkungan setempat agar semuanya bisa terkoordinir, bukan di luar lingkungan perumahan atau kampung

RW bagian dari pelayan publik, namun secara status dan kelembagaan RW lebih bersifat sebagai unit mandiri dan tidak dibiayai ataupun dianggarkan secara khusus dan kontinu oleh APBD, dan hanya dianggarkan lewat dana hibah.

RW tidak masuk dalam unsur pemerintahan. Karena unsur pemerintahan paling terbawah itu adalah kelurahan.

Kelurahan adalah instansi Pemerintah yang terbawah yang langsung membawahi penduduk juga merupakan pintu awal dalam kepengurusan pelayanan masyarakat sebelum ketingkat selanjutnya. Dengan berbagai macam urusan pelayanan masyarakat dari lahir sampai dengan meniggal dunia, berbeda dengan instansi-instasi lain padaumunya hanya mengurusi bidang-bidang tertentu sesuai fungsinya engan tingkat kehidupan social, karakter, agama ,status penduduk yang berbeda-beda merupakan bahan masuan bagi Kelurahan didalam melayani mereka yang kadang-kadang menjumpai permasalahan didalam proses pelayanan, baik mengenai data, status pendudukl yang kurang jelas maupun karakter masyarakat.

Dalam melaksanakan roda Pemerintahan Kelurahan dibantu oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada yaitu RT RW, serta lembaga organisasi kelompok. Lembaga-lembaga tersebut adalah sebagai mitra kerja Pemerintah Kelurahan dalam rangka penyampaian informasi-informasi maupun program-program dari pemerintah untuk masyarakat, kecuali lembaga tersebut juga sebagai pusat informasi atau sumber data masyarakat yang sangat dibutuhkan oleh Pemerintah sebagai dasar pengisian potensi dan monografi wilayah Kelurahan dibutuhkan juga dalam rangka proses pelayanan masyarakat yang kurang jelas datanya atau status penduduknya.

Jumlah penduduk yang tidak sebanding dengan jumlah perangkatnya membuat pelayanan kadang-kadang tidak sesuai dengan apa yang direncanakan oleh Pemerintah Kelurahan dan yang diinginkan oleh masyarakat yaitu pelayanan prima, tetapi Pemerintah Kelurahan sebagai motor pelayan masyarakat sudah berusaha semaksimal mungkin untuk dapat melayani masyarakat dengan baik sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Untuk menciptakan pelayanan masyarakat yang baik, cepat,tepat dan benar perlu adanya metode pelayanan. Teknis proses pelayanan masyarakat melalui RT, RW [ sebelum ke Kantor Kelurahan ] akan lebih tepat dan lebih terkoordinir karena segala sumber data mengenai warga masyarakat ada didalam kepengurusan RT, dalam proses pelayanan akan dikoordinir atau dipimpin oleh Kepala Lingkungn masing-masing sebagai penanggung jawab administrasi. Kepala Lingkungan ini adalah perangkat kelurahan yang diberi tugas oleh lurah. Sehingga proses pelayanan melalui kelembagaan RT,RW akan lebih selektif baik mengenai data, status penduduk maupun yang lain yang diperlukan dalam pemrosesan data.

Kelurahan merupakan fasilitas masyarakat didalam menuntut hak pelayanannya karena kelurahan langsung membawahi penduduk dan bertanggung jawab atas kepentingan penduduk. Proses penanganan pelayanan melalui RT sebelum ke kelurahan memperoleh berbagai keuntungan lebih efisien waktu dan efisien pekerjaan, sehingga pihak kelurahan tinggal melanjutkan proses penanganan pelayanan dari RT. Bagi RT memperoleh keuntungan pengetahuan mengenai keadministrasian.

Di dalam menentukan biaya administrasi kepengurusan surat-surat pelayanan masyarakat dapat dimusyawarahkan antara Pemerintah Kelurahan dengan warga masyarakat dan juga kepengurusan RT yang akan menangani administrasi proses penanganan pelayanan masyarakat. Kepengurusan RT juga memperoleh keuntungan mendapatkan pekerjaan, sehingga dapat meningkat kan ekonomi keluarga, dan dapat untuk menambah kas RT.

Untuk menentukan kepengurusan kelembagaan RT,RW dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :

  1. Sistem penunjukan dari Kelurahan.
  2. Pemilihan warga masyarakat.

Untuk pemilihan kepengurusan RT akan lebih baik apabila ditunjuk dari Pemerintah Kelurahan karena orang – orang yang akan menjadi pengurus RT,RW adalah benar-benar orang yang mempunyai tanggung jawab baik secara administrasi maupun secara moral. Bagi yang ditunjuk atau yang terpilih sebagai pengurus lembaga RT akan diberi SK dari Lurah sebagai penanggung jawab. Proses pelayanan masyarakat melalui RT diharapkan dapat berjalan dengan baik, cepat, dan tepat sesuai dengan tuntutan masyarakat pada umumnya.

Kebijakan pembinaan pemerintah terhadap peran Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) perlu ditinjau ulang.

perlu dilakukan perbaikan karakteristik kelembagaan RT. Hal tersebut diperlihatkan dengan menyediakan kelengkapan kesekretariatan berupa papan informasi, organigram pengurus, papan agenda kegiatan, peta wilayah, meja dan kursi kerja, meja dan kursi tamu, serta lemari arsip.

"Ke depan perlu perbaikan peran kinerja dan akuntabilitas meningkatkan aspek kerjasama antarpengurus dan koordinasi dengan tokoh masyarakat dan aparat kelurahan, dalam penyusunan perencanaan kegiatan tahunan di wilayahnya,"

Pemerintah daerah dikatakan dia dapat menggunakan perpaduan strategi pendekatan direktif atau instruktif, serta pendekatan non-directif (partisipatif) pada pembangunan fisik dan non fisik di kelembagaan RT/RW. Masyarakat melalui unsur organisasi ini, dikatakan dia, memiliki peran sebagai wadah pelayanan kebutuhan untuk memperoleh kenyamanan, kebersihan lingkungan, menjaga ketertiban, dan keharmonisan bertetangga.

peran lainnya yakni menjembatani kebutuhan masyarakat dengan program pembangunan pemerintah daerah. untuk merealisasikan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, maka diperlukan peran swasta dan masyarakat untuk kepentingan publik. "Karena itu arah dan kebijakan pemerintahan daerah harus mampu memberdayakan segenap potensi yang ada demi kemakmuran seluruh masyarakat,"

Pemerintah telah memberikan cukup banyak program bantuan dan fasilitas, sebut saja Gakin/Askeskin, Raskin, BLT, BKM P2KP, PPMK, Dana Operasional RT/RW, PNPM Mandiri serta masih banyak lagi bantuan yang diprogramkan melalui Instansi lain, yang diharapkan dapat membantu meningkatkan tarap "kehidupan" rakyat. Tetapi sejauh ini apa semuanya sudah sesuai dengan sasaran dan harapan sebagaimana program bantuan serta fasilitas itu dibuat? MAAF, JUJUR SAJA JAWABANNYA BELUM !

Masih banyak penyimpangan dalam pelaksanaannya, baik yang disengaja oleh perbuatan oknum maupun yang tanpa sengaja oleh karena ketidakmengertian dan ketidakpedulian para pemanfaat juga pengelolanya. Penyimpangan oleh oknum rasanya tak perlu dibahas mengingat sudah ada sanksi untuk itu, tetapi penyimpangan yang tanpa sengaja karena ketidakmengertian dan ketidakpedulian kiranya perlu dipelajari kendala penyebabnya untuk dicarikan solusi agar dana masyarakat yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui program bantuan yang ada menjadi tidak mubazir.

Setiap program maupun bantuan yang diberikan pemerintah mengharuskan adanya proses pemenuhan persyaratan dengan kriteria tertentu bagi para pemanfaatnya, Bicara bantuan pasti sasarannya adalah warga kurang mampu/miskin, untuk itu Pemerintah bersama para "Wakil Rakyat" membuat kriteria perihal "warga kurang mampu/miskin" tapi umumnya kriteria tersebut bersifat definitif sedang realitanya sangat majemuk, Dalam aplikasinya perlu penilaian faktual yang cukup bijaksana sesuai dinamika kehidupan yang ada. Begitu juga halnya untuk kriteria-kriteria lainnya.

Kiranya proses pemenuhan persyaratan itulah yang kerap tidak berjalan dengan optimal, berdasarkan pengalaman selama menjabat sebagai "wakil rakyat yang sesungguh-sungguhnya" (he he wakil rakyat yang mana tuh?) ada dua kendala yang menjadi penyebab utama kenapa hal itu bisa terjadi.

KENDALA PERTAMA, peran Kelembagaan Masyarakat Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) sebagai "ujung tombak" pemerintah yang bersentuhan langsung dengan rakyat, belum maksimal dalam menjalankan amanah/tugas sosialnya. Bila ada program kegiatan cenderung ingin cepat selesai, hanya sekedar menggugurkan kewajibannya.

Padahal kita tahu betapa pentingnya peran RT/RW dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sehari-hari, terlebih sebagai "ujung tombak" pemerintah dalam setiap pelaksanaan tugas dan kebijakkannya. Dari urusan remeh temeh permasalahan rumah tangga hingga urusan penting menyangkut kedaulatan dan keamanan negara, misalnya saja pelaksanaan pilkada/pemilu dan masalah terorisme pasti dan akan selalu melibatkan RT/RW. Tapi sejauhmana apresiasi (penghargaan) yang diberikan masyarakat, juga khususnya oleh Lergislatif maupun Eksekutif? nampaknya belum begitu terperhatikan.

RT/RW dicari bila ada keperluan atau masalah, diluar itu terlupakan bergitu saja. Malah terkadang figur dan jabatannya kerap dijadikan seloroh dengan penggambaran sosok "ndeso" dan tidak intelek. Adanya pencitraan demikian ditambah dengan status kelembagaan RT/RW itu sendiri sebagai organisasi sosial yang melulu bertumpu pada swadaya dan kerja bhakti menjadikan posisi jabatannya sangat tidak diminati, Coba saja perhatikan, disetiap pelaksanaan pemilihan Ketua RT/RW umumnya selalu tidak mudah karena jarang ada kandidat yang berminat, kalaupun akhirnya ada yang bersedia biasanya terkesan "apa boleh buat" atau dengan kata lain terpaksa, bahkan banyak juga yang menganggapnya sebagai suatu "musibah" Barangkali karena keterpaksaan itulah yang membuat pengelolaan Lembaga Kemasyarakatan RT/RW menjadi kurang maksimal.

Selain itu figur ketua juga sangat berperan sekali terhadap kinerja pengelolaan RT/RW, mohon maaf dengan tidak mengurangi rasa hormat dan penghargaan kepada para orang tua kita, sekarang ini masih banyak posisi ketua/pengurus RT/RW dijabat oleh person yang bergelar S3 (sampun saget sepuh) mengingat yang lain terutama generasi muda tidak berminat, bahkan konon katanya ada juga pejabat RT/RW yang tidak lancar baca tulis !

Kondisi demikian tentu sangat bertolak belakang sekali dengan tuntutan jaman yang membutuhkan kecepatan dan ketepatan dalam merespon kebijakan pemerintah, Memang banyak juga pengurus RT/RW yang sudah baik bahkan mungkin sangat baik, tetapi bila dibandingkan dengan cakupan luasnya wilayah kepemerintahan (Kab/Kodya, Prop bahkan Negara) jumlahnya masih sangat sedikit.

KENDALA KEDUA. Peran Legislatif/para "Wakil Rakyat", tentu intelektualitasnya tak perlu diragukan lagi rata-rata jebolan lembaga pendidikan terkenal, sehingga bisa dipastikan teori dan teknis sudah mereka kuasai sesuai bidangnya masing-masing. Tapi maaf saja, rasanya mereka kurang banyak pengalaman dalam memahami "bahasa rakyat", sehingga ketika Pemerintah membuat program kerja dan kebijakan yang seharusnya mereka koreksi agar dalam penerapannya dapat dilaksanakan dengan mudah, hasilnya masih terlalu birokratif penuh dengan "bahasa-bahasa pelaksanaan" yang tidak mudah dimengerti oleh masyarakat awam.

Lalu kiranya apa yang dimaksud "bahasa rakyat"?, dalam hal ini tentu bukan Dialektika tetapi "Kebutuhan/Harapan rakyat atas segala macam permasalahaan hidup sehari-hari !" yang hanya bisa dimengerti melalui pengalaman komprehensif dengan cara bersentuhan langsung dengan rakyat sebagaimana yang diemban amanahnya oleh para Ketua RT/RW. Memang dalam stiap masa resesnya para "Wakil Rakyat" kerap "turun gunung" tetapi apalah artinya kunjungan sesaat itu bila dibandingkan dengan pengalaman para ketua RT/RW yang dalam kurun waktu 3 tahun dengan fasilitas terbatas (keseringan malah pake fasilitas pribadi) dituntut untuk siap (bekerja) 24 jam dalam sehari tanpa pamrih mengelola segala permasalahan/keluh kesah masyarakat, bahkan dalam kondisi tertentu malah harus rela menjadi "Ujung Tombok" pula !

Dari dua kendala tersebut diatas masing-masing timbul pertanyaan sbb :

Bagaimana caranya agar potensi warga masyarakat yang memiliki komitmen, pemahaman dan pengetahuan pengelolaan suatu organisasi sosial. dapat tertarik/berminat terlibat dalam Lembaga Kemasyarakatan RT/RW?.

Bagaimana caranya agar para "Wakil Rakyat" kita tidak hanya pintar tapi juga memiliki cukup pengalaman/persentuhan langsung dengan masyarakat layaknya RT/RW sehingga dapat memahami "bahasa rakyat"?

Dari kedua pertanyaan tersebut tampak ada satu persamaan yang saling terkait yaitu RT/RW. Barangkali sudah saatnya kita memberikan perhatian/"penghargaan" lebih kepada Lembaga Kemasyarakatan RT/RW yang diharapkan bisa memberikan jawaban atas kedua pertanyaan tersebut. Mengingat Lembaga Kemasyarakatan RT/RW bersifat sosial dan tanpa pamrih tentunya bentuk perhargaan yang diberikan tidak berupa materi tetapi dengan cara yang sangat terhormat, Apa itu ?

Usulan saya adalah, bagaimana bila kedalam Undang Undang tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pada Bab/Pasal/Ayat yang menjelaskan mengenai Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota ditambahkan satu klausul yang berbunyi "PERNAH MENJABAT SEBAGAI KETUA RT DAN ATAU KETUA RW". Ringkasnya, berikan penghargaan pada Lembaga Kemasyarakatan RT/RW dengan cara mencatumkannya sebagai salah satu persyaratan bagi calon anggota legislatif dengan kata lain siapapun yang ingin menjadi anggota legislatif harus pernah menjabat sebagai Ketua RT dan atau Ketua RW !

Pasti banyak yang akan memberikan komentar "TERLALU MENGADA-ADA ….. !" Usulan yang nyeleneh memang, namun bila kita cermati pemasalahan maupun kendala yang paling mendasar, dan bila saja kita mau jujur dalam memberikan penilaian bahwa siapa sebenarnya "wakil rakyat yang sesungguh-sungguhnya ?", yang tanpa peduli akan waktu, fasilitas bahkan pamrih buat dirinya. Tentunya tidak terlalu mengada-ada bila hal tersebut disampaikan sebagai suatu usulan.

Wabil khusus bagi mereka yang saat ini berambisi, merencanakan atau mengendap-endap ingin menjadi "Wakil Rakyat" tak usah gusar !, usulan ini bila perlu tetapkan berlakunya untuk Pemilu/Pilkada Tahun 2019 atau 2024, sehingga mereka semua masih berkesempatan dan tidak terganjal oleh persyaratan karena belum pernah menjabat sebagai Ketua RT/RW.

Apabila usulan tersebut dapat diterima dan ditetapkan Undang Undangnya dari sekarang Insya Allah akan langsung memberikan dampak yang sangat positif bagi masyarakat secara umum, misalnya saja :

Masyarakat tidak lagi kesulitan sebagaimana biasanya bila hendak memilih Ketua RT/RW, karena dengan terbukanya peluang kedepan untuk dapat menjadi Anggota Legislatif tentunya akan menggugah minat/ketertarikan siapapun yang memiliki pengetahuan, pemahaman dan komitmen dalam mengelola suatu organisasi sosial siap menjadi Ketua RT/RW, secara otomatis nantinya kegiatan pemilihan ketua RT/RW akan lebih demokratis serta bergairah.

Ketua RT/RW apabila sudah dijabat oleh person yang memang pada dasarnya memiliki pemahaman, pengetahuan dan komitmen yang baik, pasti dengan mudah dapat merespon setiap program yang dicanangkan oleh pemerintah agar bisa tepat sasaran, sehingga dana yang dikucurkan tidak mubazir

Para ketua RT/RW terpilih disetiap wilayah tentu akan saling bersaing membuat pencapaian/achievement terbaik secara berkesinambungan sebagai track record pribadi yang kelak dapat dipergunakan sebagai "investasi" (berupa apresiasi "suara" yang diberikan masyarakat sebagai konstituen) dalam menggapai "iseng-iseng berhadiahnya" menjadi anggota legislatif. Dengan adanya persaingan tersebut yang paling diuntungkan karenanya jelas masyarakat serta pemerintah

Kelak pada saatnya nanti para "Wakil Rakyat" terpilih tidak terlalu perlu lagi kita risaukan kepekaan nuraninya karena selain mereka adalah orang yang mumpuni dibidangnya masing-masing, merekapun sudah sangat memahami "bahasa rakyat" mengingat pernah menjabat sebagai "wakil rakyat yang sesungguh-sungguhnya"

Membangun impian sebuah desa ideal imajiner

sebenarnya yang terutama harus dilakukan bersama adalah penyamaan persepsi tentang tujuan dan kegunaan dari adanya kebijakan otonomi daerah. Ketika kita mempertanyakan mulai darimana otonomi dilaksanakan, maka yang paling utama penerapan otonomi desa. Desa yang selama ini dijadikan sapi perahan dan 'budak' terbawah dalam sebuah sistem pemerintahan ORBA yang otoriter harus diubah pemahamannya menjadi sebuah wilayah otonom yang mampu mengelola dan mengambil keputusan sendiri dalam melaksanakan pengembangan desanya, meskipun masih terkait dengan kecamatan sebagai wilayah regional yang paling dekat. Desa harus dipandang sebagai satuan terkecil dari NKRI yang mana akan memberi sumbangan dan warna dalam pembangunan keseluruhan bangsa Indonesia.


 

Penyediaan prasarana dan sarana dasar

Dalam program pengembangan masyarakat pedesaan , untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak maka dibutuhkan prasarana dan sarana dasar yang utama harus ada dalam sebuah desa antara lain :

Sarana perumahan yang sehat, indah, harmonis

Sarana kesehatan (ketersediaan air bersih, saluran pembuangan, MCK, polindes, posyandu dll)

Sarana pendidikan (formal, non formal, informal)

Sarana ibadah

Sarana ekonomi (pasar desa, koperasi serba usaha , lembaga Keuagan desa dll)

Sarana transportasi (jalan beraspal/ bersemen, alat angkut darat, dermaga & kapal laut)

Sarana komunikasi

Sarana olah raga

Sarana hiburan ( meningkatkan peran budaya lokal)

Sarana produksi

Sarana penerangan dan ketersediaan listrik

Lembaga perwakilan tingkat desa (BPD)

Sarana pengembangan kapasitas intelektual (pusat informasi desa, kepustakaan desa dll)

Litbang desa


 

P3 DT, PPK, Proyek Air bersih Ausaid, PNT, Siskes dari GTZ dll selama ini telah membantu dalam menyiapkan sarana dasar yang memadai untuk kehidupan di pedesaan. Namun hal ini belum terasa dapat memenuhi kebutuhan karena terbatasnya dana yang tersedia, tiadanya perencanaan strategis (Renstra) Desa yang didalamnya antara lain memuat rencana tata ruang tingkat desa, sehingga menyulitkan pihak luar untuk bekerja sama secara sinergis dalam membantu pengembangan sebuah desa.


 

Rencana strategis desa dan rencana umum tata ruang tingkat desa

Dalam pengembangan sebuah desa, perlu dipikirkan untuk sejak awal melakukan renstra desa dan merencanakan tata ruang tingkat desa yang mengatur peruntukan lahan yang diarahkan untuk pemukiman, sarana umum dan sosial, kawasan pertanian, kawasan peternakan, kawasan hutan, kawasan industri kecil dll yang dilakukan secara partisipatip dengan melibatkan seluruh warga desa serta "konsultan pengembangan desa" yang hanya berperan emmberi masukan tanpa memutuskan. Dalam perencanaan ini jika ada monopoli kepemilikan tanah oleh tuan tanah maupun adat, maka perlu dipikirkan adanya usaha reforma agraria/ land reform yang menjamin rasa keadilan dan mendukung perdamaian.

Penguatan dan pemberdayaan masyarakat sipil

Dalam rangka menjamin terselenggaranya kehidupan publik yang lebih demokratis, maka perlu dibangun masyarakat yang mempunyai kesadaran kritis, terbuka (inklusip), berbudaya, jujur; untuk mewujudkannya perlu diupayakan proses penyadaran secara terus menerus melalui penyadaran kritis dan latihan menganalisis tentang realitas kehidupan dalam berbagai bidang baik sosial, politik, ekonomi dlll pada aras makro (nasional) maupun mikro (tingkat kabupaten). Pendidikan kritis untuk rakyat menjadi kebutuhan yang mendesak apabila kita ingin menjadikan warga desa cerdas dan kritis, karena pengalaman selama ini masyarakat desa hanya dijadikan obyek dalam suatu penyelenggaraan pemilu dan kemudian dilupakan.


 

Untuk penguatan dan pemberdayaan masyarakat sipil di desa , perlu dilakukan :


 

Penyadaran kritis rakyat


 

Penguatan ORA (Organisasi Rakyat)


 

Pengaliran dan penyediaan informasi secara terus menerus yang mudah dicerna rakyat


 

Membangun sistem kontrol rakyat terhadap penyelenggara negara (khususnya aparat desa)

Peningkatan kemampuan ekonomi melalui kegiatan usaha produktip dan pengelolaan SDA yang lestari dan berkelnjutan.


 

Pemerintahan desa yang bersih & transparan


 

Kegagalan akan keberlajutan sebuah pembangunan pedesaan melalui pendekatan top down dan proyek, seharusnya menjadi cermin bagi kita, bahwa tanpa partisipasi dan kesadaran masyarakat untuk membangun dirinya sendiri dan memelihara hasil-hasil pembangunannya, maka keberlanjutan pembangunan sulit diharapkan. Meskipun kita meminta masyarakat untuk mengadakan perencanaan partisipatip lewat musrenbangdes (musyawarah rencana pembangunan desa) dengan menggunakan metode P3MD (Perencanaan Pembangunan Partisipatip Masyarakat Desa) , namun ketika usulan masyarakat desa yang partisipatip ini kehilangan kesempatan bagi masyarakat sendiri untuk memutuskan apa yang hendak dibangun karena yang berhak memutuskan/ mencoret adalah Bappeda maupun Bappenas, akan terlihat bahwa semua hal yang dilakukan pemerintah seolah-olah menjadi tidak berkelanjutan. Pembangunan didesa yang dilaksanakan dalam bentuk proyek, ternyata telah menjauhkan masyarakat dari rasa memiliki pembangunan untuk dirinya dan menjadi ajang pesta pora KKN bagi pinpro maupun pihak yang terkait dalam proyek tersebut. Maka akan menjadi sangat kentara dan wajar apabila para kontraktor dan pinpro menjadi 'sapi perahan' bagi yang punya kuasa baik di eksekutip, legislatip (DPR) maupun yudikatip. Dan ketika kualitas /mutu proyek semakin jelek, maka kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menjadi semakin berkurang dan masyarakat menjadi apatis, meskipun sebenarnya masyarakat juga menikmati melalui penyelewengan atau tidak dikembalikannya dana kredit yang disediakan untuk mereka (dana IDT dll).


 

Manajemen pembangunan yang berwajah sektoral, sentralistik, topdown, dengan pendekatan proyek ternyata telah menjauhkan masyarakat dari kemandirian dan keswadayaan dan membuat masyarakat semakin bergantung. Desa masih sering dianggap sebagai obyek lahan untuk melaksanakan proyek dan belum dianggap sebagai suatu wilayah otonom yang mempunyai otoritas untuk menentukan sendiri apa yang mau dibangun dari apa yang dimiliki, dan bantuan yang disediakan hanya sebagai stimulan yang mempercepat proses pengembangan masyarakat.


 

Pihak luar seperti pemerintah, LSM, Akademisi dll seharusnya hanya menjadi fasilitator, motivator dan konsultan bagi masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan program. Saat ini sebagian besar desa hanya menjadi semacam 'tempat sampah pembangunan', dimana semua sektor dengan gaya egosektoral masing-masing telah bertindak menjadi semacam sinterklas yang membagi-bagi hadiah kepada masyarakat. Dan ketika proyek dipaksakan di desa karena dikejar target dan waktu, masyarakat dengan aparat desa menjadi pelengkap penderita dari sebuah pembangunan.


 

Mengembangkan otonomi desa


 

Dijaman ORBA, desa mengalami marjinalisasi yang dibuktikan dengan pengendalian desa melalui Kepala Desa yang secara ex officio menjadi Ketua Umum LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), Ketua I dijabat oleh tokoh masyarakat, dan Ketua II oleh Ketua Tim Penggerak PKK yang tidak lain adalah istri Kepala Desa dan keberadaan wewenangnya dibawah Camat. Hal ini tertuang dari pengertian desa menurut UUPD No 5/1979, dikatakan, bahwa : "Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hokum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1.a.). Dari rumusan ini terlihat pemahaman desa merupakan representasi pemerintah pusat, artinya kewenangan memutuskan ada ditangan pemerintah pusat dan apa yang dianggap baik oleh pusat akan dirasa baik pula untuk desa. Asumsi ini sangat kental dengan nuansa sentralistik dan mengkebiri peran desa sebagai wilayah yang otonom dan cenderung mengabaikan kebutuhan dan kepentingan rakyat yang sesungguhnya.


 

Di era reformasi, keinginan melaksanakan desentralisasi menjadi sangat kuat sebagai keputusan politik serta mengubah pendekatan top down dengan bottom up. Dalam UU No. 22 th 1999, pasal 1(o) disebutkan bahwa pengertian desa atau apa yang disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asa usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Pada (p) disebutkan bahwa kawasan pedesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.


 

Pencabutan UUPD No. 5/1979 dan digantikan dengan UU No. 22 tahun 1999 merupakan wujud keseriusan pemerintah transisi untuk mengakhiri dari pembangunan desa yang berwajah sentralistik, penyeragaman, ketakberdayaan (depowering), alat mobilisasi dan mengedepankan kekuasaan menuju pembangunan desa yang terdesentralisasi, memberikan ruang untuk keanekaragaman budaya, pemberdayaan (empowering) , partisipatip dan mengedepankan kesejahteraan rakyat. Penempatan desa secara otonom akan memberi peluang bagi desa untuk tumbuh secara wajar, menampung aspirasi dan kepentingan rakyat banyak. Kedaulatan rakyat menjadi realitas, dan rakyat semakin ditumbuhkan dalam daya nalar, daya analitis sehingga menjadi cerdas dan kritis. Rakyat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengemukakan dan memutuskan apa yang akan dibangun, swadaya apa saja yang dapat disiapkan , teknologi apa yang akan dipilih dll. Desa bukan lagi menjadi daerah kekuasaan para pejabat /birokrat, tetapi sebaliknya para pejabat diharapkan menjadi fasilitator, konsultan, mediator, motivator, dan bukannya justru menjadi koruptor, sehingga mampu mempercepat kesejahteraan warga desa. Hal ini sesuai dengan semboyan pegawai negeri yang mengklaim dirinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat sehingga tidak berhenti sebagai retorika belaka, melainkan diwujudkan dalam pengabdian melaksanakan tugasnya. Maka sudah bukan jamannya lagi jika masih ditemui pejabat yang arogan dan hanya mau dilayani, karena saat ini lebih dibutuhkan pejabat yang mau melayani dan rendah hati yang mampu melihat warga desa bukan sebagai abdi/bawahan yang lebih rendah derajad sosialnya, melainkan memandang masyarakat sebagai mitra sejajar yang membutuhkan uluran tangan dan pemikirannya untuk dapat hidup lebih bermartabat dan manusiawi, sejahtera lahir dan batin. Para pejabat, Pemuka agama, Pemuka Masyarakat, Pemuka Adat, LSM, Pengusaha dll serta semua pihak yang berkehendak baik untuk masyarakat perlu membantu dengan segala daya upaya agar warga desa menjadi semakin berdaya, kritis, cerdas dan semakin mampu menolong diri sendiri dan sesama di desanya. Yang diperlukan saat ini adalah kebersamaan kita dengan warga desa untuk membantu menfasilitasi pembuatan renstra desa, master-plan desa (mengatur tata ruang desa, tata guna/ peruntukan lahan), peningkatan ketrampilan teknis dan kemampuan berbisnis bagi warga desa, penyiapan sarana yang dibutuhkan untuk pengembangan ekonomi kerakyatan (seperti jalan beraspal/bersemen, alat traspor, sarana telepon, listrik, dermaga dll) sehingga semua potensi desa baik SDM maupun SDA dapat dioptimalkan pengelolaannya sehingga pada akhirnya juga memberi sumbangan yang berarti bagi PAD (Pendapatan Asli Desa) tanpa merusak lingkungan dan tetap menjaga keberlanjutan daya dukungnya bagi anak cucu. Dengan meningkatnya pendapatan asli desa, maka dengan sendirinya akan memperkuat otonomi daerah karena akan meningkatkan PAD kabupaten melalui peningkatan produktivitas yang tinggi dan peningkatan perputaran ekonomi di tingkat desa. Maka OTDA tidak diartikan peningkatan penarikan pajak kepada warga, namun dipahami sebagai mengoptimalkan semua potensi yang dimiliki daerah dengan bekerja secara professional yang mendasarkan pada prinsip efisiensi dan efektivitas. Maka APBD tingkat kabupaten juga harus menampakkan tampilan kinerja yang efisien dan tidak menghabiskan anggaran hanya untuk menutup biaya rutin seperti gaji pegawai, pembelian fasilitas kantor, SPJ pejabat dsb, tetapi juga menuntut pegawai negeri untuk lebih profesional dalam melayani kepentingan publik yang telah menyediakan dana untuk pembayaran gajinya.


 

Mari kita kembangkan otonomi desa untuk memperkuat OTDA dan tidak perlu meremehkan keberadaan desa, karena sebenarnya kehidupan kota sangat bergantung pada pasokan bahan baku dari desa, baik dalam penyediaan bahan pangan maupun kebutuhan lainnya.


 

Dengan demikian harus ada prioritas bagi Pemerintahan desa sebagai aparat negara yang paling dekat dengan rakyat di desa untuk diberdayakan terlebih dahulu, karena seperti kita ketahui masyarakat masih bersifat paternalistik dan sangat bergantung pada tokoh adat, dan tokoh agama . Pengelola pemerintahan desa harus memegang prinsip partisipatip, bottom up dan menfasilitasi aspirasi masyarakat, dan bukan menjadi bawahan Camat maupun Bupati. Pemerintahan desa harus memikirkan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan mendasarkan pada potensi lokal yang ada tanpa merusaknya , menjamin rasa aman, mewujudkan keadilan dan perdamaian bagi warganya. Pemerintahan desa juga harus transparan dalam hal kebijakan yang diambil, penggunaan keuangan dan mampu mempertanggungjawabkannya kepada warga sebagai wujud tanggungjawabnya kepada publik dan yang pasti kepad Sang Pencipta. Dengan demikian setiap kebijakan yang diambil harus merupakan representasi dari aspirasi masyarakat dan harus selalu memihak pada kepentingan rakyat, bukan kepentingan pejabat maupun kalangan bisnis dari luar. Badan perwakilan Desa (BPD) harus mampu mengontrol penyelenggaraan pemerintahan di desa, namun tidak boleh menjadi arogan dalam artian BPD juga harus dikontrol oleh masyarakat desa yang memilihnya. Dan harus ada perubahan sistem dalam manajemen pemeritahan negara Indonesia, dimana desa diberi wewenang untuk memutuskan apa saja yang akan dilakukan dalam satu tahun, sehingga bukan lagi Bappeda yang memutuskan, namun tetap dalam keterkaitan dengan wilayah lain dan peran Bappeda dibutuhkan dalam membantu keterkaitan dalam tataran makro.


 

Namun sayangnya baru beberapa tahun UU 22/1999 berjalan, Pemerintah telah menggantinya dengan UU 32/2004 yang mengganti BPD menjadi Badan Permusyawaratan Desa sehingga tidak lagi menjadi badan yang mampu menyuarakan kepentingan warga desa.


 

Pengembangan ekonomi kerakyatan


 

Perekonomian merupakan denyut nadi yang utama dalam pengembangan pedesaan. Peningkatan taraf hidup masyarakat desa sangat bergantung pada tingkat pendapatan yang mempengaruhi dalam kemampuan mencukupi kebutuhan sehari-hari dan tabungan untuk investasi/ modal usaha.


 

Masalah utama yang dilihat dalam pedesaan sebenarnya bukan masalah modal berupa uang untuk modal usaha, namun yang lebih utama adalah masih lemahnya jiwa dan ketrampilan berbisnis/berusaha, kurangnya kemampuan mengelola ERT (Ekonomi Rumah Tangga) sehingga menjadi ERT (Ekonomi Ribut Terus), tergerusnya aset/kekayaan karena biaya sosial yang tinggi mengatasnamakan adat yang bertubi- tubi. Tapi tidak berarti kita meniadakan adat/budaya melainkan bagaimana nilai-nilai luhur tetap terpelihara dan diterapkan namun terjadi pengurangan/ rasionalisasi dalam pembiayaannya.


 

Kita sering mendengar keluhan masyarakat yang selalu mengeluh ketiadaan uang sebagai modal dalam berusaha, namun kalau kita mau mengkaji lebih jauh, banyak faktor yang mempengaruhi lambatnya peningkatan pendapatan masyarakat, meskipun berbagai upaya untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan oleh pemerintah telah sangat gencar dilakukan, mulai dari IDT, P3DT, PPK, maupun dari pihak lain seperti dari LSM, bantuan luar negeri dll. Menjadi pertanyaan kita, kemana uang bantuan yang selama ini mereka terima ?


 

Dari perspektip makro, maka kegagalan masyarakat desa mengentaskan diri dari kemiskinan antara lain disebabkan :

Kebijakan pembangunan yang selalu terpusat (sentralistik) di ibukota baik ibukota negara, propinsi, kabupaten maupun kecamatan, sehingga prasarana dan sarana dasar hanya terbangun diseputar ibukota tersebut.

Kebijakan ekonomi nasional selama ini lebih memihak kaum kapitalis /konglomerat, sehingga desa hanya dijadikan obyek dan diperas SDA nya untuk kepentingan kaum kapitalis. Kebijakan ekonomi yang diambil tidak berdasar ekonomi kerakyatan seperti yang diharapkan oleh pendiri bangsa dalam pasal 33 UUD 45.


 

Dalam UUPD No 5/1979, dikatakan, bahwa : "Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1.a.). yang mengartikan desa sebagai bawahan Camat sehingga tidak menjadikan desa sebagai daerah yang otonom. Masyarakat beserta Kepala Desa tidak mampu menolak semua kepentingan dari luar meski tidak sesuai dengan kehendak/aspirasi masyarakat desa. Maka desa hanya dijadikan obyek pembangunan dan 'tempat sampah pembuangan semua jenis proyek'


 

Dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi, desa tidak mempunyai akses ke jaringan pasar karena tiadanya sarana komunikasi untuk mendapat informasi harga maupun kebutuhan pasar dan rendahnya posisi tawar dalam berbisnis serta tiadanya jaringan pemasaran bersama , sehingga banyak kegiatan usaha produktip menjadi sia-sia karena produknya tidak mampu mengakses ke pasar. Kalaupun desa dijadikan tempat industri melalui program PIR, sebenarnya keuntungan lebih banyak dinikmati oleh pengusaha daripada rakyat di desa tersebut. Ketika ada usaha pengelolaan SDA yang ada di desa, maka keuntungan akan ke pemerintah pusat dan daerah serta pengusaha, sementara yang masuk sebagai pendapatan desa sangat kecil prosentasenya.

Dalam kaitanya dengan kebijakan makro, maka sebenarnya kebijakan pembangunan telah mengorbankan sektor pertanian dimana sebagian besar warga desa merupakan petani sehingga berakibat sulitnya meningkatkan harkat dan martabat warga desa/ petani melalui peningkatan kesejahteraan hidupnya.


 

Ironis memang begitu banyak pejabat yang "menjadi orang" karena jerih payah orang tuanya yang petani namun setelah menduduki jabatan lupa membangun infrastruktur di desa dan membantu keluarganya yang berprofesi sebagai petani.


 

Dalam perspektip mikro, maka kegagalan masyarakat desa mengentaskan diri dari kemiskinan antara lain disebabkan :


 

Rendahnya kemampuan manajemen wirausaha/ bisnis yang dimiliki rakyat desa karena ketiadaan pelatihan dan dukungan dari pihak terkait.


 

Adanya kebiasaan hidup boros atas nama adat-istiadat setempat, sehingga banyak uang yang tidak dapat disisihkan untuk modal/investasi.


 

Rendahnya ketrampilan teknis yang dimiliki masayarakat desa terkait dengan usaha yang dipilih dan dijalankan sehingga tidak efisien dan berakibat pada rendahnya produktivitas kerja.


 

Terbatasnya kapasitas intelektual karena kebiasaan budaya lisan dan kurangnya budaya "baca", diskusi maupun keinginan menambah informasi dari berbagai mass media (radio, TV, surat kabar, majalah, poster, leaflet , internet dll). Seandainya program warnet pedesaan benar-benar bisa terwujud alangkah indahnya.


 

Adanya budaya paternalistik dan pemilik modal/ tuan tanah yang menguasai sebagian besar asset di desa sehingga menimbulkan ketimpangan pendapatan dan ketidakadilan.


 

Pengembangan institusi keuangan di tingkat desa yang mampu dikelola oleh warga desa seperti Koperasi kredit sangat diperlukan sehingga terdapat institusi keuangan pengganti bank yang mengakibatkan terjadinya perputaran uang ditingkat desa, dan dalam penyediaan kebutuhan sehari-hari di desa diharapkan juga tersedia 'mall' ala desa alias warung serba ada yang menjual barang dengan harga wajar dan adil. Maka penguatan organisasi/ badan ekonomi desa seperti koperasi menjadi sangat startegis karena keuntungan akan dinikmati oleh warga desa sebagai anggota koperasi dan menumbuhkan solidaritas sejati diantara warga.


 

Pengembangan industrialisasi pedesaaan

Dalam pengembangan lebih lanjut, perlu dipikirkan untuk membangun sebuah industri skala kecil yang mampu mengolah hasil pertanian, peternakan maupun perkebunan dan kehutanan sehingga tidak terjadi pembuangan hasil yang melimpah karena tidak mampu dipasarkan, dan terjadi proses daur ulang yang terus menerus sehingga limbah mampu terolah dan kembali termanfaatkansebagai sebuah siklus yang berkelanjutan. Disamping itu industri yang dibangun juga harus mempertimbangkan penggunaan teknologi tepat guna yang mampu dikuasai masyarakat setempat, tidak padat modal dan juga dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti minyak kelapa, sabun, margarin/keju, tepung untuk makanan kecil dll. Pemanfaatn minyak kelapa dan minyak jarak untuk pembangkit listrik tenaga diesel di Ende sangat menarik untuk dikaji karena hasil olahan masyarakat langsung dapat "pasar" yang pasti. Demikian pula untuk memperoleh minyak jarak tidak dibutuhkan modal yang banyak untuk pembelian mesin pengolahnya kira-kira sekitar 150 juta yang dapat didanani dari ADD (Alokasi dana Desa). Industri kerajinan kayu/rotan untuk meubel, cindera mata dll, industri penyamakan kulit hewan, industri kerajinan makanan olahan dsb dapat menjadi pilihan dalam pengembangan industri di desa sehingga mampu meningkatkan nilai tambah yang dengan sendirinya juga akan meningkatkan pendapatan. Produk asinan, manisan, tepung, keripik , dodol dsb dapat menjadi andalan apabila diproses dan dikemas secara baik dan higienis.


 

Kehidupan yang selaras alam

Pengelolaan SDA berbasis masyarakat harus terwujud dalam realitas, bukan hanya sekedar retorika saja. Hal ini akan menumbuhkan rasa tanggung jawab yang besar dari masyarakat sekitar SDA karena mereka akan menyadari pentingnya pengelolaan SDA yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yang secara langsung menyangkut hajat hidup masyarakat dilokasi SDA berada. Dengan pengelolaan SDA oleh rakyat, maka mereka akan langsung merasakan manfaatnya bagi peningkatan taraf kehidupannya dan diharapkan akan mengelolanya dengan penuh tanggung jawab. Disamping itu dengan pengelolan berada di tangan rakyat, maka akan ada pemberdayaan ditingkat masyarakat, karena mereka akan memperoleh pelatihan teknis maupun manajemen dari dinas kemakmuran rakyat (dinas perkebunan, kehutanan, pertambangan, peternakan dll) sehingga secara kualitas kemampuan masyarakat bertambah.


 

Pengembangan pertanian juga akan mengikuti prinsip keselarasan dengan alam dengan mengembangkan Pertanian Berkelanjutan yang ramah lingkungan, memanfaatkan input lokal sehingga tidak dijumpai penggunaan pupuk kimia dan pestisida pabrik yang dapat meningkatkan pencemaran lingkungan dan membuat ketergantungan petani. Benih yang digunakannyapun benih lokal unggul sehingga mereka dapat menyiapkan secara mandiri setiap tahun tanpa harus membeli. Mereka tidak melaksanakan penananam tunggal (monocroping) melainkan diversifikasi/ multicroping yang saling memnguntungkan baik secara ekonomis, ekologis , produksi dan budaya. Mereka menambah kesuburan lahan dengan menanam tanaman jenis legum (termasuk salah satunya asam), memanfaatkan pupuk organis dari kotoran hewan/ternak, daun-daun legume, kompos dll.


 

Pengembangan peternakan juga memperhatikan daya dukung lahan dan tidak dibiarkan lepas sehingga tidak merusak kebun beserta tanamannya.


 

Demokratis yang santun

Masyarakat sudah semakin berani menyuarakan aspirasinya, menuntut haknya sekaligus secara bersamaan melaksanakan kewajibannya secara bertanggungjawab. Mereka akan semakin kritis terhadap penyimpangan yang terjadi dan dengan adanya sistem kontrol yang ada ditangan rakyat, maka siapa saja yang melanggar hukum akan dikenai hukuman yang setimpal dan adil. Mereka tidak lagi menjadi masyarakat yang paternalistik dan hanya mengangguk saja, melainkan berani menyuarakan pendapat yang berbeda sepanjang pendapat itu lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan secara nalar dan nurani. Perbedaan pendapat yang ada tidak menyebabkan perkelahian secara fisik, namun justru lebih mengedepankan pikiran yang nalar, tidak emosional, namun mencari solusi yang terbaik. Penilaian kinerja aparat desa dilakukan secara transparan, menggunakan indikator yang terukur (SMART) yang disepakati bersama antara aparat dan warganya, sehingga tidak lagi terjebak dalam sentimen keagamaan sempit, kesukuan, ras maupun rasa suka tidak suka. Aparat desa mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada warga dan warga berhak menilai berdasar indikator yang sudah disepakati Demikian pula dalam rekruitmen aparat desa , tidak ada lagi kolusi, suap maupun bentuk penyelewengan lainnya, karena proses rekruitmen aparat desa sangat transparan dengan kriteria yang jelas dan beberapa warga yang mewakilinya menjadi pengujinya. Peserta yang tidak lulus boleh bertanya apa penyebab dirinya tidak lulus dan foto kopi hasil tes dikembalikan kepada peserta.


 

Persaudaran sejati


 

Di desa imajiner ini sudah tidak ada lagi kata pendatang dan asli, nonpri dan pribumi, tidak lagi membedakan muslim atau non muslim, tidak ada lagi kerusuhan berbau SARA, karena kehidupan didasarkan kepada keimanan yang benar, jernih dan rasional dengan tingkat religiositas yang tinggi yang terwujud dalam kasih kepada manusia lainnya sebagai sesama ciptaan Tuhan. Tidak ada lagi sentimen kedaerahan dalam kehidupan keseharian meski desa ini terdiri dari berbagai macam agama, suku, ras, budaya. Karena mendasarkan kasih dalam kehidupan keseharian, maka yang terjadi adalah saling tolong menolong dengan ketulusan dan keiklasan hati, tidak ada lagi iri hati/cemburu, tidak ada lagi kesombongan meskipun ada yang kaya dan miskin, ada yang sebagai pejabat dan rakyat. Meskipun berbeda keyakinan/iman, mereka bekerja sama mengentaskan kemiskinan dan mengatasi kesulitan warga lainnya yang ada didesanya, membangun sarana umum secara bersama. Tidak ada lagi kelompok merah atau putih yang saling berseteru dan saling membinasakan, karena mereka telah melebur menjadi merah-putih seperti bendera kebangsaan yang kita cintai, dimana diartikan merah adalah berani dan putih adalah suci sehingga kita berani karena suci. Bukan membinasakan yang berbeda keyakinan untuk atas nama penyimpangan yang disimbolkan sebagai sebuah perang suci, melainkan saling bergandengan tangan bahu membahu mengurangi penderitaan dan permasalahan untuk menjangkau kehidupan yang lebih berharkat dan bermartabat.


 

Mari kita wujudkan mimpi menjadi kenyataan !!!!!!