Rabu, 01 Juni 2011

2 poin dasar yg harus dipersiapkan untuk memajukan desa

1. Harus ada kelompok masyarakat yang mendedikasikan diri untuk Kemajuan Desa maksudku kelompok ini harus sadar hak warga negara kewajiban negara, memahami sistematika musrenbangdus-des-cam-kab,membangun komunikasi politik dengan lembaga desa, kecamatan,eksekutif dan legislatif dan berketrampilan advokasi (masih sedikit ada kelompok yg seperti ini)
2. Lembaga Desa baik itu perangkat desa, BPD, LPMD, PKK, Karang Taruna yang menjalankan fungsi sesuai Job des-nya (Hampir semua Lembaga Desa gak produkstif relasi atar lembaga desanya)

meski samgat berat tp harus dimulai membangun poin 1, terlalu riskan membiarkan kesempatan desentralisasi desa yg makin hari makin dekat dan berarti ADD akan semakin besar tp penyelenggara desa (rakyat juga termasuk penyelenggara desa lho) masih carut-marut spt ini

1. Pertama, kita kuatkan profesionalitas dan kemampuan kita masing-masing.
2. Kedua, kita satukan kekuatan dan keikhlasan kita untuk peduli membangun.
3. Ketiga, Identifikasi masing-masing kita sesuai bidang, konsentrasi dan prioritas / kapasitas kita.
4. Kita wujudkan wirausaha / kemandirian usaha tiap desa, antar desa secara lokal, regional dan nasional.
5. Mari kita mulai.
a. Database potensi kita, (personal dan lokasional)
b. Ketemu dalam wadah khusus rembug pembangunan antar desa se nusantara
c. Bikin kluster-kluster potensi dan jaringan / pemetaan
d. Alternatif rancangan pembentukan wadah-wadah usaha. (koperasi, perseroan)

Mencari Investor untuk diajak bekerjasama mendirikan sebuah Proyek atau Perusahaan apalah... minimal untuk menyerap tenaga kerja yang ada di desa...

bisa juga, mengajukan proposal ke Perusahaan sebuah Produk tertentu.. diajak mendirikan sebuah Monumen atau tugu tertinggi di GK... yang pada tugu tersebut bisa juga ditempel iklan produknya. dan mungkin Tugu tersebut bisa diletakkan di perempatan atau tempat Strategis... seirig terkenalnya Tugu tersebut, pasti lokasi juga bakal ikut terkenal..

Bagi pengusaha yang bisnisnya berbasis sumberdaya alam, salah satu pertimbangan terpenting dalam pengembangkan usaha adalah kedekatan lokasi usaha dengan sumber daya alam. Lokasi yang tepat adalah desa, tempat dimana sumber daya alam melimpah! Ketentuan mengenai pelimpahan kewenangan pengelolaan sumberdaya alam kepada pemerintah desa (pada umumnya) diatur dengan Peraturan Daerah. Namun demikian, pemberian kewenangan pengelolaan sumberdaya alam kepada pemerintah desa merupakan suatu hal yang dilematis. Di satu sisi ada keinginan yang kuat untuk melimpahkan sebanyak mungkin tugas dan kewenangan termasuk pengelolaan sumberdaya alam- kepada pemerintah desa. Namun di sisi lain, pada kenyataannya sebagian besar pemerintah desa belum siap mengemban tanggungjawab atas kewenangan yang besar dalam pengelolaan sumber daya alam. 

Jika anda ingin mengembangkan bisnis di pedesaan, sejak awal harus anda sadari bahwa masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia (sebagian besar) perangkat desa, serta semakin kuatnya kecenderungan perselingkuhan kepentingan politik dan ekonomi lokal menyebabkan hadirnya beragam fakta yang menyebalkan dari praktik pengelolaan sumberdaya alam yang (sering) destruktif. Paralel dengan kecenderungan orientasi ekonomi jangka pendek yang dipraktikkan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dalam rangka menggenjot kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD), aparat desa juga berupaya keras meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PADes) yang pada umumnya dilakukan dengan pengurasan sumberdaya alam. Dengan demikian, pelimpahan kewenangan pengelolaan sumberdaya alam kepada pemerintah desa dapat terlaksana dengan baik, jika dan hanya jika ada upaya penguatan institusi desa dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia pedesaan secara sungguh-sungguh.

Keinginan untuk menguatkan desa sebagai sebuah lembaga otonom yang memiliki peran dan otoritas yang lebih mandiri ternyata juga menghadapi tantangan psiko-kultural yang cukup besar dalam tataran praktis. Di masyarakat, istilah desa identik dengan sifat inferior yang dekat dengan kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Oleh karena itu, bagi sebagian (besar) masyarakat ada rasa kebanggaan jika status desa diubah menjadi kelurahan yang dalam konteks kekinian lebih terasa bernuansa
kemajuan. Transformasi bentuk desa menjadi kelurahan dalam banyak hal dianggap sebagai sebuah prestasi yang membanggakan tidak hanya bagi perangkat desa, namun juga bagi warga desa. Perubahan status desa menjadi kelurahan ibarat selembar sertifikat pengakuan bahwa desa yang bersangkutan telah menapak naik ke jenjang kemajuan dan terentas dari stigma keterbelakangan yang selama ini, suka atau tidak suka, melekat pada desa. Kondisi ini sungguh dilematis karena sebenarnya dengan adanya perubahan status desa menjadi kelurahan hak dan kewenangan desa sebagai daerah otonom sesuai dengan asas desentralisasi akan hilang. Berbeda dengan desa, institusi kelurahan hanyalah perpanjangan tangan dari pemerintah kabupaten/kota yang melaksanakan fungsi dekonsentrasi dan tugas perbantuan, dan oleh karenanya kelurahan tidak memiliki otoritas dan kemandirian pemerintahan sebagaimana halnya dengan desa. Implikasinya, warga kelurahan hanya berhak menikmati pelayanan administrasi publik dari kantor kelurahan namun tidak memiliki hak publik lainnya seperti hak suara dalam memilih secara langsung kepala desa dan ikut serta menentukan jalannya pembangunan desa melalui wakilnya di Badan Permusyawaratan Desa. 

Rekonstruksi menuju otonomi desa yang ideal cukup sulit diformulasikan ketika dibenturkan pada tingginya realitas keragaman dalam memaknai otonomi desa. Namun demikian, secara umum masyarakat desa memiliki
mimpi bersama yang pasti tidak jauh berbeda, diantaranya adalah: pertama, desa harus dapat menjamin kecukupan warganya dalam memperoleh penghidupan dan kehidupan yang layak dengan memberdayakan potensi lokal; kedua, tersedianya infrastruktur fisik yang memadai di pedesaan tanpa melunturkan nilai sosial dan budaya masyarakat desa; dan ketiga, terjaminnya akses komunikasi dan informasi bagi masyarakat desa.

Dengan demikian, agenda rekonstruksi otonomi desa harus merujuk pada keinginan menyusun pondasi kelembagaan desa yang berkemakmuran, berkeadilan, dan berbudaya. Sebagaimana telah dikemukakan, kuatnya kecenderungan aspirasi warga desa yang lebih menginginkan desanya di masa depan dapat bertransformasi menjadi kota harus dimaknai bahwa desa dalam konteks kekinian sesungguhnya bukan lagi pilihan yang menarik dan hampir selalu bermakna inferior. Oleh karena itu, cita-cita mewujudkan kemandirian desa harus selalu dilekatkan dengan upaya yang sistematis untuk memperbaiki citra desa. Bertolak dari titik ini, keragaman tafsir otonomi desa sesungguhnya dapat bermuara pada satu keinginan bersama yakni terwujudnya suatu model desa impian, dimana warga desa dapat menikmati suasana hidup di desa yang masih kental dengan nilai sosial-budaya pedesaan dan pada saat yang bersamaan mereka juga dapat mengakses berbagai fasilitas dasar dengan mudah. Sebuah kondisi yang tidak hanya menempatkan warga desa dalam posisi yang lebih bermartabat, tetapi secara simultan juga dapat mereduksi berbagai masalah sosial perkotaan yang hadir akibat derasnya arus urbanisasi. Pada kondisi desa yang demikian urbanisasi tidak akan terjadi, karena sejatinya kebanyakan orang (lebih) senang bekerja di desa dengan rejeki (seperti) orang kota!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar