Rabu, 01 Juni 2011

Seberapa efektif alokasi dana pembangunan desa

Kandasnya usulan dana aspirasi (Program Percepatan dan Pemerataan Pembangunan Daerah/P4D) Rpi5 miliar per anggota DPR, rupanya tidak membuat Golkar kehilangan proposal cadangan.


 

Jajaran elite partai berlambang pohon beringin itu, hari-hari ini giat meyakinkan publik dan mitra koalisinya ihwal urgensi alokasi dana pembangunan sebesar Rpl miliar untuk setiap desa/kelurahan di seantero negeri. Di tataran substansi, Golkar mendengungkan gagasan besar di balik usulannya membangun Indonesia dari desa sebagai basis terendah pemerintahan dan locus kehidupan masyarakat.


 

Untuk itu, negara-melalui instrumen fiskal-harus terus memperbesar alokasi transfer bagi pembiayaan pembangunan desa. Kalau dalam kasus dana aspirasi, pendekatannya adalah daerah pemilihan (dapil), maka proposal baru ini menggunakan pendekatan berbasis program pembangunan.


 

Namun, dalam manajemen sektor publik, modal gagasan besar dan -niat baik tidaklah cukup. Berbagai segi penting- terutama di level teknokratik dan operasional-menjadi variabel penting yang berpengaruh atas pencapaian gagasan tersebut.


 

Jika tidak, para kritikus dan lawan politik melihat usulan tadi hanya sebagai siasat politik Golkar bagi keuntungan politiknya dalam membangun basis dukungan dari level terendah, tetapi dengan membonceng fasi litas/sumber daya negara.


 

Model pembiayaan

Selama ini-khususnya pada era otonomi-terdapat dua jenis pembiayaan pembangunan desa yakni alokasi dana desa (ADD) dan bantuan langsung masyarakat (BLM) sebagai program sektoral sejumlah kementerian. Dari kedua sumber tadi, hanya ADD yang masuk ke APBDes. Dana tersebut bersumber dari transfer kab/kota berdasarkan usulan RPJMDes, dan pengelolaannya oleh kepala desa (government driven).


 

Pada sisi lain, BLM menghindari proses pengelolaan yang birokratis. Jenis program berbasis usulan masyarakat, dana mengalir langsung ke kelompok target yang dikelola secara partisipatif {community driven development/CDD) dan menjadi stimulan peningkatan kesejahteraan.


 

Program PNPM Perdesaan, misalnya, kini menjangkau sekitar 12.045 desa di seluruh Indonesia. Demikian juga program desa mandiri energi Kementerian ESDM, bedah desa tertinggal Kementerian PDT, dll. Dari kedua model pembiayaan tadi, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah pola mana yang akan diikuti Golkar ataukah ada suatu opsi baru tersendiri? Kalau pola


 

ADD, berarti distribusi dana itu mesti masuk APBD kab/kota. Lalu sesuai rencana program (RPJMDes) diteruskan dalam skema dana perimbangan ke APBDes. Jika mengikuti pola BLM, pintu masuknya adalah kementerian dan menjadi bagian dari anggaran sektoral yang bersumber APBN.


 

Apa pun pilihannya-termasuk kalau Golkar i punya opsilain-kita berharap dana desa itu tidak masuk ke pos legislatif (mirip pola dana aspirasi), lalu secara gelondongan disalurkan ke dapil/konstituen (pork-barrel). Catatan penting terkait persoalan tersebut, pertama, visi keadilan dalam kebijakan publik potensial dicederai oleh model program sama rata-sama rasa. Kalau setiap desa/kelurahan mendapat jatah Rpl miliar, alokasi ini jelas bias Jawa.


 

Dari total 71.000 desa/ kelurahan di Indonesia, sekitar 40% berada di Pulau Jawa. Niat membangun Indonesia dari daerah atau program pemerataan pembangunan daerah (P4D) tadi justru sulit terwujud lantaran semakin lebarnya celah kesenjangan regional (Jawa-luar Jawa) yang selama ini saja sudah bertaraf ekstrem.


 

Kedua, pola gelondongan dan pukul rata jumlah alokasi bisa berujung destruktif. Selama ini, praktik anggaran di level desa/daerah belum optimal, baik karena kapasitas daya serap anggaran yang lemah, malaprak-tik dan inkompetensi pelaksanaan program, hingga korupsi.


 

Tanpa terlebih dulu membe-nah sisi teknokrasi anggaran- terutama kelembagaan, personel dan manajemen proyek-maka dana sebesar apa pun tetap sulit menyentuh kebutuhan riil warga dan berpotensi macet di tangan segelintir aparat desa (elite capture).


 

Ketiga, problem koordinasi dengan program/pembiayaan lainnya. Harus diakui, sama halnya di level nasional/daerah. problem fragmented planning juga terjadi di desa. Dalam skema sektoral, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, aneka kementerian memiliki intervensi program hingga desa. Terlepas dari kalkulasi politik tertentu, gagasan Golkar itu memberikan pesan lebih tegas soal local economic development (LED) sebagai paradigma dan strategi baru membangun Indonesia.


 

Sebagai partai "ide", Golkar melangkah semaju di depan partai-partai lainnya, dan secara politik pasti memberikan kredit tersendiri di mata daerah. Namun, dalam suatu kebijakan publik, the devil is on the details, sehingga setiap gagasan politik mesti teruji pula dari sisi teknokrasi/operasional.


 

Dalam konteks itu-sembari dirumuskan formula yang terorganisasi dan menjamin keadilanatau efektivitas implementasi menurut hemat saya eksperimentasi gagasan tadi bisa mulai dengan penguatan fiskal bagi program BLM yang ada. Melalui wakil di parlemen, sejumlah kementerian diupayakan menambah alokasi anggaran untuk sektor perekonomian dan infrastruktur perdesaan, terutama di luar Jawa. Setelah itu, tugas partai adalah menguatkan kapasitas gugus-gugus tugas di desa (dimotori kader-kadernya) agar bisa mengelola program secara efektif.

1 komentar: